Kamis, 30 April 2009
Ikhtilaf sunnah-syi'ah
kami ambil dari beberapa referensi salah satunya dari saudara kami.
Ada beberapa poin yang sering dituduhkan para pembenci Syiah untuk memprovokasi kaum muslimin agar turut mengikuti langkah mereka dengan menyebarkan fitnah-fitnah terhadap Syiah.
Obyek-Obyek Isu Kesesatan Syiah
Ada beberapa poin yang sering dituduhkan para pembenci Syiah untuk memprovokasi kaum muslimin agar turut mengikuti langkah mereka dengan menyebarkan fitnah-fitnah terhadap Syiah. Di sini, kita akan sebutkan beberapa obyek yang sering dijadikan bahan untuk penyesatan Syiah besrta jawaban ringkasnya;
1. Syiah menyelewengkan al-Qur’an
Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur’an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.
Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur an diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, ” Aku tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt,” tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk umat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif. Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Qur an misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbedaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya. Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an (Surah 15:9),: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur’an telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.
Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAW: “Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5]
2. Nikah Mut’ah
Berhubung dengan isu hangat yaitu Nikah Mut’ah yang dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini karena menyamakan Mut’ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAW pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima karena perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam dan tidak ada rokhsah dalam isu zina.
Sejarah menunjukkan bahwa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah membolehan Nikah Mut’ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAW.
Kalau mut’ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAW apakah mungkin Abdullah bin Abbas membolehkannya?
Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya mut’ah apakah mungkin beliau berani menghalalkannya pada waktu itu?
Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tanda tanya karena tidak mungkin beliau berani membolehkan zina [mut'ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [mut'ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman mut’ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, ” Sekiranya Umar tidak mengharamkan mut’ah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat.” (Lihat tafsiran surah al-Nisa:24)
Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW yaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, ” Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan mut’ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya karena Amr bin khuraits.”
Jelaslah mut’ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah mengharamkan mut’ah nikah sebelum baginda wafat adalah hadith-hadith dhaif.
Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah yaitu riwayat yang mengatakan nikah mut’ah telah dihapuskan pada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang dhaif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman mut’ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah karena seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikawini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikawini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengawini wanita Yahudi ketika itu karena mereka adalah musuh mereka.
Riwayat kedua diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah (Sahih Muslim bab Nikah Mut’ah) hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya saja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud?
Sekiranya kita menerima pengharaman nikah mut’ah di Khaibar, ini bermakna mut’ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah mut’ah telah dihalalkan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat mut’ah nikah telah diharamkan secara bertahap seperti pengharaman arak dalam al-Qur’an tetapi mereka lupa bahwa tidak ada ayat Qur’an yang menyebutkan pengharaman mut’ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata.
Yang jelas nikah mut’ah dihalalkan dalam al-Qur’an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain: “Setelah turunnya ayat mut’ah, tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu. Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita untuk melakukan perkara itu dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup. Dan pada saat beliau meninggal, kita tidak pernah mendengar adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada seseorang yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri.”
Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadith ini dalam bab haji tamattu.
Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta’ah dan pengharaman mut’ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari: “Kalau bukan kerana Umar melarang nikah mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka.”
Sanadnya sahih. Justeru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surah al-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat mut’ah (lihat juga Syed Sobiq bab nikah mut’ah).
Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman mut’ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAW cukup jelas bahawa nikah mut’ah halal pada zaman Nabi SAW seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi, ” Dua jenis mut’ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAW aku haramkan sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua jenis mut’ah tersebut. Pertama nikah mut’ah dan kedua haji tamattu”.
Perlulah diingatkan bahwa keharusan nikah mut’ah yang diamalkan oleh Mazhab Syiah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah mut’ah seperti juga kehalalan kawin empat bukan bermaksud semua orang wajib kawin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah mut’ah dan kawin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah mut’ah sama dengan zina, apakah bentuk mut’ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar? [catatan: Nikah muta'ah memang tidak sama dengan zina]
3. Syiah Kafir?
Dakwaan Syiah golongan kafir menimbulkan kemusykilan kerana pada setiap tahun orang-orang Syiah mengerjakan ibadat haji misalnya pada tahun 1996, 70,000 jemaah haji Iran mengerjakan haji. Oleh itu bagaimanakah boleh terjadi orang kafir (Syiah?) dibenarkan memasuki Masjidil Haram sedangkan al-Qur’an mengharamkan orang kafir memasuki Masjidil Haram?
4. Syiah Yahudi?
Dakwaan Syiah adalah hasil ajaran Yahudi dan Nasrani juga tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Sebagai contoh, pada masa ini pejuang Hizbollah (Syiah) berperang dengan Yahudi di Lebanon. Banyak yang gugur syahid. Semua orang tahu Israel memang takut dengan pejuang Hizbollah sebab itu mereka sengaja mengebom markas PBB pada tahun 1996 untuk menarik negara-negara barat mencari jalan menghentikan peperangan dengan Hizbollah itu. Fakta Abdullah bin Saba yang dikatakan penggagas ajaran Syiah adalah kisah khayalan saja. Cerita Abdullah bin Saba hanya dikutip oleh ahli-ahli sejarah seperti al-Tabari dari seorang penulis khayalan yang bernama Saif bin Umar al-Tamimi yang ditulis pada zaman Harun al-Rasyid. Jika seseorang itu meneliti hadith-hadith tentang kelebihan Ali atau hadith tentang Ali sebagai wasyi selepas Rasulullah SAW yang dikatakan ajaran Abdullah bin Saba - sebenarnya tidak terdapat riwayat yang mengutip dari Abdullah bin Saba. Sebaliknya banyak hadith-hadith tentang kelebihan Ali datangnya dari Rasulullah SAW. Umar bin al-Khattab pula sewaktu mendengar berita kewafatan Rasulullah SAW enggan mempercayai kewafatan Rasulullah SAW tetapi Umar percaya Rasulullah SAW tidak wafat sebaliknya baginda SAW pergi menemui TuhanNya seperti yang berlaku kepada Nabi Musa AS menghadap Tuhan selama 40 hari dan hidup selepas itu. Menurut Umar Rasulullah SAW hanya naik ke langit. Lihat Tabari, Tarikh al-Muluk wal Umman, Jilid III,halaman 198]. Kisah seperti ini tidak ada dalam catatan Hadith-hadith Nabi SAW tetapi mengapakah kita tidak menuduh Umar terpengaruh ajaran Yahudi?
5. Syiah memaksumkan imam-imam mereka
Mereka berhujah dengan ayat Quran 33:33: “Sesungguhnya Allah hendak mengeluarkan dari kalian kekotoran [rijsa] wahai Ahlul Bayt dan menyucikan kalian sebersih-bersihnya.”
Istilah Ahlul Bayt menurut Hadith Rasulullah SAW merujuk kepada lima orang iaitu Rasulullah SAW, Fatimah, Ali, Hassan dan Husayn seperti yang diriwayatkan dalam Sohih Muslim. Perkataan rijsa [kekotoran] sudah tentu bukan kotor dari segi lain seperti najis dan sebagainya tetapi merujuk kepada dosa-dosa dan apabila Allah ‘hendak secara berterusan’ [yuridu] menyucikan mereka sebersih-bersihnya tidak boleh diragukan lagi ia merujuk kepada penyucian total dari semua dosa yang dalam istilah lain bermaksud mereka adalah maksum.
Tambahan pula banyak ayat-ayat Qur’an yang menjelaskan perintah Allah SWT supaya manusia berbuat ma’ruf dan meninggalkan perbuatan dosa. Apabila Allah SWT memerintah manusia berbuat ma’ruf dan meninggalkan dosa sudah tentu Allah SWT tahu bahwa manusia itu memang mampu meninggalkan dosa kerana Allah SWT tidak akan membebankan manusia dengan suatu perintah yang manusia tidak mampu buat.
Oleh itu sekiranya Syiah mengatakan imam mereka maksum yaitu tidak berbuat dosa serta Allah SWT memelihara mereka daripada perbuatan dosa berdasarkan Surah 33:33 itu, adakah ia bertentangan dengan al-Qur’an? Adakah mereka yang tidak maksum layak menduduki maqam Imam ummah?
6. Syiah didakwa mengkafirkan para sahabat Nabi SAW
Syiah mendiskreditkan sahabat-sahabat “besar” Nabi SAW seperti Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar adalah sahabat Nabi Muhammad SAW dalam gua ketika peristiwa hijrah dan merupakan khalifah yang pertama. Begitu juga Umar al-Khattab adalah sahabat Nabi SAW dan khalifah kedua.
Sesiapa yang mencaci sahabat digolongkan sebagai kafir serta keluar dari Islam (Nabi SAW menyatakan siapa yang mencaci seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kafir [Sahih Bukhari, Jilid I Hadith 48]).[Nota: Syiah tidak mencaci sahabat-sahabat Nabi SAW tetapi menunjukkan perbuatan ‘beberapa orang’ dari mereka yang menyalahi al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan Hadith. Mereka menilai dan mengkritik perangai setengah sahabat dengan dasar al-Qur'an dan Hadith Nabi SAW.] Dan jangan lupa! Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahawa terdapat sahabat yang masuk neraka seperti dalam riwayat Sahih Muslim dan Sahih Bukhari [akan dijelaskan di bawah].Istilah sahabat telah digunakan dalam al-Qur’an untuk Abu Bakar dan ini tidak serta-merta menunjukkan beliau terjamin masuk syurga dan tidak melakukan kesalahan.
Apakah kita lupa istilah sahabat juga digunakan dalam al-Qur an untuk teman Nabi Yusuf yang bukan beriman kepada Allah SWT ketika dalam penjara? Silakan baca Surah Yusuf untuk memuaskan hati kita (istilah sohibi al-Sijni digunakan=sahabatku dalam penjara [nota:beliau bukan Islam dan bersama Nabi Yusuf AS dalam penjara]). Memang Nabi Muhammad SAW mempunyai sahabat-sahabat yang baik seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi dan sebagainya tetapi di Madinah juga ada golongan munafiq yang dipanggil “sahabat” oleh Nabi SAW seperti Abdullah bin Ubay bin Salool. Dalam Sohih Bukhari juga diriwayatkan bahawa ada segolongan “sahabat” yang bakal masuk neraka ketika berjumpa Nabi Muhammad SAW di al-Haudh. Nabi SAW memanggil mereka dengan istilah ‘ashabi’ [sahabatku]. Silakan rujuk Sahih Bukhari [Sahih Al-Bukhari, Jilid 4, hlm.94-96]; Sahih Muslim, Jilid IV, hadith 2133,2440.] Sahabat yang baik memang kita hormati , sanjungi dan ikuti tetapi sahabat yang jahat seperti Muawiyah yang menentang Imam Ali AS dan mencaci Ali AS di atas mimbar patutkah kita berdiam diri?
Bukankah pasukan Muawiyah terlibat membunuh Amar bin Yasir dalam Perang Siffin? Nabi SAW pernah menyatakan sebuah hadith dalam Sahih Bukhari menyifatkan orang yang terlibat dalam pembunuhan Amar adalah golongan pemberontak dan Rasulullah SAW bersabda [terjemahan]:…Kamu (Amar) mengajak kelompok itu menuju ke Jannah tetapi kelompok itu mengajak ke neraka.” [Sahih Bukhari, Jilid II,Hadith 462].
Al-Qur’an memerintahkan kita taat kepada Ulil Amri - pada ketika itu Imam Ali AS sebagai khalifah yang sah dan wajib ditaati. Adakah tindakan Muawiyah itu selaras dengan ajaran al-Qur’an dan tidak boleh dikritik?
Kita ikuti ‘sahabat yang baik’ dan kita tinggalkan contoh sahabat yang jauh dari ajaran al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW. Sejarah menunjukkan bahwa seorang sahabat bernama al-Walid bin Utbah dikaitkan dengan asbabul nuzul ayat 6 Surah al-Hujurat yang menyatakan beliau seorang fasiq. Qudamah bin Maz un seorang sahabat Badar dihukum had pada zaman khalifah Umar karena minum arak seperti dalam riwayat Sahih Bukhari.
Jika ada orang yang masih teguh dengan pendirian bahawa semua sahabat adalah ‘adil maka apakah hukumnya Muawiyah mencaci Ali di atas mimbar? Apakah ijtihad Muawiyah boleh sampai mencaci Ali? Sebaliknya orang yang mengkritik Muawiyah dikatakan mencaci sahabat Nabi SAW? Jika seseorang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dianggap kafir, apakah pula hukumnya orang yang menolak perlantikan Ali setelah ada Hadith al-Ghadir yang menetapkan Ali AS sebagai khalifah selepas Nabi SAW wafat? Bolehkah umat Islam memilih selain dari yang telah ditetapkan oleh Rasulnya?
Alllah SWT berfirman dalam Surah Hud:113,: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh oleh api neraka…”
Dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia berbuat adil, dan melarang mereka dari berbuat zalim [nota: standard "adil"atau sebaliknya adalah berpandukan Kitab Allah Azza Wa-Jalla dan tidak ada siapapun dikecualikan hatta para "sahabat" sekalipun]. Balasan Allah SWT di akhirat kelak berasaskan segala amalan manusia ketika hidup di dunia - yang baik ke syurga dan yang buruk ke neraka.
Ini bermakna istilah “sahabatku”dalam Hadith Nabi SAW tidak bermakna merujuk kepada semua sahabat [sekiranya jumlah yang hadir pada Haji Wida' sebanyak 140,000 atau 90,000 orang] adalah adil belaka. Sahabat yang adil memang ada seperti Abu Dzar al-Ghiffari yang dinyatakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAW [terjemahan]:”Tidaklah langit menaungi seseorang dan tidak bumi membawa seseorang yang lebih jujur daripada Abu Dzar RA.”[Sunan al-Tirmidzi, Hadith 3889]. Begitu juga terdapat segolongan sahabat yang ingkar mengikut perintah Nabi SAW terutama selepas Nabi SAW wafat dan menjadi seteru Ahlul Bayt AS [keluarga Nabi SAW] seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah. Nabi SAW bersabda seperti yang diriwayatkan dalam Sunan al-Tirmidzi, hadith 3878,[terjemahan]: “Cintailah Allah karena nikmat-nikmatNya yang diberikan kepadamu dan cintailah aku karena cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku karena cinta kepadaku.”
Oleh sebab itu siapa yang memusuhi Ahlul Bayt AS memang menjadi musuh Rasulullah SAW dan Allah SWT. Bukankah Allah SWT telah melaknat golongan yang zalim dalam al-Qur’an? “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim.” [Qur'an: 11: 18]
7. Syiah didakwa bukan mengikuti ajaran Ahlul Bayt Nabi SAW
Imam Ja’far al-Sadiq bukan Syiah tetapi Ahlul Sunnah. Sebaliknya semenjak kita belajar Ahlul Sunnah nama Imam Ja’far al-Sadiq tidak dikenal langsung tetapi golongan Syiah sering mengutip hadith-hadith dari beliau dalam pelbagai aspek ajaran Islam. Malahan semua sarjana fiqh bersepakat bahwa Jaafar al-Sadiq pengasas fiqh Madzhab Syiah Ja’fariyyah. Oleh itu dakwaan di atas dibuat atas dasar emosi dan tidak berasaskan akademik.
8. Syiah percaya kepada kepada al-Bada’
Tuduhan: Ilmu Allah Berubah-ubah Mengikut Sesuatu Peristiwa Yang Berlaku Kepada Manusia (al-Bada’).
Ulama Syiah tidak pernah menganggap Allah tidak mengetahui seperti tuduhan-tuduhan yang sengaja menyelewengkan maksud sebenarnya.
Al-Bada’ tidak bermaksud kejelasan yang sebelumnya samar dinisbahkan kepada Allah SWT.
Al-Bada’ yang difahami oleh ulama Syiah ialah adalah Allah berkuasa mengubah sesuatu kejadian dengan kejadian yang lain seperti nasikh dan mansukh sesuatu hukum syariah yang tercatat dalam al-Qur’an tetapi al-Bada’ menyangkut tentang sesuatu kejadian [takwini] seperti hidup dan mati dan seumpamanya.
Misalnya kisah penyembelihan Nabi Ismail AS tetapi kemudian Allah Azza Wa-Jalla menggantikannya dengan seekor kibas.
Alllah SWT berfirman dalam al-Qur’an 13:39: “Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan [apa yang Ia kehendaki] dan di sisinya terdapat Umm al-Kitab [Lauh al-Mahfuzh].”
Sebuah hadith yang dipetik dari al-Kulaini dalam Kitabul Tauhid, Usul al-Kafi, hadith 373.:”Allah tidak menerbitkan [bada'] pada sesuatu melainkan ianya berada dalam ilmuNya sebelum [Allah menetapkan] berlakunya [bada' tersebut].”
Hadith 374 menegaskan:” Sesungguhnya Allah tidak menerbitkan Bada’ dari kejahilan[Nya]“.
Syeikh al-Mufid menulis dalam bukunya Awail Maqalat: ” Apa yang saya fatwakan tentang masalah al-bada’ ialah sama dengan pendapat yang diakui oleh kaum muslimin dalam menanggapi masalah nasakh [penghapusan] dan sebagainya seperti memiskinkan kemudian membuat kaya, mematikan kemudian menghidupkan dan menambah umur dan rezeki kerana ada sesuatu perbuatan yang dilakukan. Itu semua kami kategorikan sebagai bada’ berdasarkan beberapa ayat dan nas-nas yang kami dapatkan dari para Imam.”
9. Syiah mengamalkan taqiyah
Mereka mendakwa taqiyyah bermaksud berpura-pura dan sinonim dengan perbuatan golongan munafiq. Syeikh Muhammad Ridha al-Muzaffar menulis dalam bukunya Aqidah Syiah Imamiyyah: “Taqiyah merupkan motto Ahlul Bayt AS bermotifkan untuk melindungi agama, diri mereka dan pengikut mereka dari bencana dan pertumpahan darah, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin serta penyelarasan mereka, dan memulihkan ketertiban mereka.”
Mengikut Alamah Tabatabai’ dalam bukunya Islam Syiah bahawa sumber amalan taqiyah ini merujuk juga kepada al-Qur’an seperti Surah 3:28,: “Jangan sampai orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman mereka selain orang-orang beriman. Barang siapa yang melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka [orang-orang kafir] dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian [agar selalu ingat] kepadaNya. Dan kepada Allahlah kalian kembali.”
Ungkapan menjaga diri terhadap orang-orang kafir dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari tattaquu minhum tuqatan dan kata tattaquu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama dengan taqiyah.
Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan peristiwa taqiyah Amar bin Yasir yang mencari perlindungan dengan mengaku kafir di hadapan musuh-musuh Islam iaitu dalam Surah 16:106: “…kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman…”
Jelaslah bahwa taqiyah bukan membawa maksud berpura-pura seperti yang sering didakwa oleh orang yang berpura-pura berilmu pengetahuan tetapi sarat dengan kejahilan dan niat yang buruk.
10. Mengapa Syiah sujud di Tanah Karbala?
Soal mengapa pengikut Syi’ah bersujud di atas tanah Karbala tidak bertentangan dengan hukum fiqh dari semua madzhab.
Solat adalah perbuatan ibadah yang cara-caranya terikat kepada amalan Rasulullah SAW. Kaedah ini diterima oleh semua madzhab dan tidak ada yang berani mempertikaikannya atau dia akan keluar dari status “Muslim”.
Hadith Nabi SAW yang mulia menjelaskan tentang cara-cara bersujud seperti yang tercatat dalam Sahih Muslim, misalnya hadith nomor 469, [terjemahan]…. Dan di mana saja kamu berada, jika waktu solat telah tiba, maka solatlah, karena bumi ialah tempat bersujud (masjid)
Atau hadith nomor 473, [terjemahan] “….Bumi dijadikan suci bagiku [nota: misalnya debu tanah boleh digunakan untuk bertayammum] dan menjadi tempat sujud [wa ju'ilat ila-l-ardh tuhura wa-masjidan].
Dan memang orang-orang Syiah mengikut contoh Imam-imam mereka seperti Imam Ali Zainal Abidin AS dan seterusnya, yang meletakkan tanah Karbala sebagai tempat untuk bersujud.
Yang patut diingatkan bahawa Syiah tidak sujud kepada tanah Karbala. [nota: perbuatan ini tentunya syirik] tetapi di atas tanah Karbala untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT.Imam Ja’far al-Sadiq AS ketika ditanya perkara tersebut berkata: “….karena sujud adalah untuk merendahkan diri di hadapan Allah, oleh karena itu adalah tidak wajar seseorang itu bersujud di atas benda-benda yang dicintai oleh manusia di dunia ini.” [Wasa'il al-Syi'ah, Juzuk III, hlm.591]
Dalam hadith yang lain Imam Ja’far al-Sadiq AS menjelaskan bahwa: “Sujud di atas tanah lebih utama karena lebih sempurna dalam merendahkan diri dan penghambaan di hadapan Allah Azza Wa-Jalla.” [Al-Bihar, Juzuk, 85, hlm.154]
11. Mengapa Syiah tidak boleh menerima Madzhab Ahlul Sunnah Wal-Jama’ah?
As-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-’Amili seorang ulama Syi’ah dengan tegas menjelaskan: ” Bila dalam kenyataannya kami kaum Syiah tidak berpegang kepada Madzhab Asy’ari dalam hal usuluddin dan madzhab yang empat dalam cabang syari’at, maka ini sekali-kali bukan kerana kami taksub; bukan pula kerana meragukan usaha ijtihad para tokoh-tokoh madzhab tersebut.Dan juga bukan kerana kami menganggap mereka itu tidak memiliki kemampuan, kejujuran, kebersihan jiwa atau ketinggian ilmu dan amal, tetapi sebabnya ialah bahawa dalil-dalil syari’ah telah memaksa kami untuk berpegang hanya kepada madzhab Ahlul Bayt AS, ahli rumah Rasulullah SAW, pusat Nubuwwah dan Risalah, tempat persinggahan para malaikat, dan tempat turunnya wahyu al-Qur’an. Maka hanya dari merekalah kami mengambil cabang-cabang agama dan aqidahnya, usul fiqh dan kaedahnya.Pengetahuan tentang al-Qur’an dan al-Sunnah. Ilmu-ilmu akhlak, etika dan moral. Hal itu semata-mata kerana tunduk pada hasil kesimpulan dalil-dalil dan bukti-bukti. Dan sepenuhnya mengikuti petunjuk dan jejak penghulu para Nabi, Rasulullah SAW.” [As-Syarafuddin al-Musawi,al-Muruja'at (Dialog Sunnah-Syi'ah, Penerbit Mizan,hlm.17-18]
Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata: “Hadith-hadith yang aku riwayatkan adalah dari ayahku. Dan semua hadith tersebut adalah riwayat dari datukku. Dan semua riwayat datukku adalah dari hadith datukku al-Husayn AS. Dan semua riwayat al-Husayn AS adalah dari hadith al-Hasan AS. Dan semua hadith al-Hasan AS
dari datukku Amirul Mu’minin Ali AS; dan semua hadith Amirul Mu’minin Ali AS adalah dari hadith Rasulullah SAW. Dan hadith-hadith Rasulullah SAW adalah Qaul Allah Azza Wa-Jalla.” [Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14]
Bagi Syiah, tidak ada dalil bagi seseorang itu untuk menerima selain dari Mazhab Ahlul Bayt AS karena perkara itu telah diputuskan oleh Allah SWT.
12. Imam Mahdi AS hidup lebih dari 1000 tahun
Mereka mendakwa kepercayaan bahawa Imam Mahdi AS masih hidup sejak peristiwa ghaib kubra pada tahun 329H adalah sesuatu kepercayaan yang karut. Mengapa mereka lupa bahwa Allah SWT telah menghidupkan nabi-nabi terdahulu dengan umur yang panjang seperti Nabi Nuh AS dan Nabi Adam AS? Malahan umat Islam percaya Nabi Isa AS masih hidup hingga kini sejak beliau diangkat ke langit oleh Allah SWT dalam peristiwa beliau diselamatkan dari pembunuhan pengikut-pengikutnya. Ini bermakna beliau as telah hidup lebih seribu tahun. Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi di bangkitkan oleh Allah SWT setelah ditidurkan dengan begitu lama. Begitu juga umat Islam percaya Nabi Khidir as masih hidup hingga kini. Malahan iblis syaitan la’natullah alahi masih hidup sejak makhluk ini engkar kepada Allah SWT. Ini bermakna iblis syaitan telah hidup lebih lama dari 1,000 tahun. Tidakkah kisah-kisah ini menunjukkan bahawa umur panjang bagi Imam Mahdi AS bukanlah sesuatu yang mustahil kerana Allah SWT Maha Berkuasa bagi perkara yang sekecil itu.
13. Aqidah Raja’ah
Al-Allamah al-Safi menjawab tentang masalah rajaah seperti berikut: ” Qaul tentang raja’ah itu merupakan qaul dari itrah Rasulullah SAW yang suci. Perbahasan tentang masalah ini telah beredar dikalangan mereka dan selain dari mereka. Pedoman mereka dalam masalah ini adalah ayat-ayat Qur’an dan hadith-hadith yang mereka riwayatkan dengan sanad yang turun temurun dari datuk-datuk mereka sampai kepada datuk Rasulullah SAW.
Kenyataan yang tidak mungkin diingkari oleh para peneliti masalah-masalah keislaman adalah bahwa sumber aqidah raja’ah itu adalah imam-imam Ahlul Bayt AS yang telah ditetapkan kewajiban berpegang teguh kepada mereka dengan keterangan dari hadith al- tsaqalain dan lain-lainnya.
Pihak syiah mengatakan tentang raja’ah secara global. Mereka membandingkan hal ini dengan kejadian-kejadian para ummah terdahulu seperti yang diceritakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya,: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-beribu (jumlahnya) kerana takut; maka Allah berfirman kepada mereka:” Matilah kamu,” kemudian Allah menghidupkan mereka (kembali)…” (Al-Baqarah:243).
Ayat yang lain,: “Atau apakah (kamu tidak mepmerhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atasnya. Dia berkata:” Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah ia roboh?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali….” (Al-Baqarah:259)
Dan boleh juga mengambil teladan dari firman Allah Ta’ala dalam ayat berikut: “Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada pada dirinya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami melipatgandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (Al-Anbiya:84)
Mereka golongan syiah mengatakan bahawa hal itu tidak mustahil akan terjadi kepada umat ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagikan (dalam kelompok-kelompok).” (Al-Naml:83)
Hari yang disebutkan Allah SWT dalam ayat di atas, tentu bukan Hari Qiamat, karena pada Hari Qiamat Allah membangkitkan semua umat manusia, sebagaimana yang difirmankanNya dalam ayat berikut: “Dan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” (Al-Kahfi:47)
Dalam dua ayat di atas, Allah SWT menyatakan bahawa Hari Kebangkitan itu ada dua. Kebangkitan umum dan kebangkitan khusus. Hari yang dibangkitkannya segolongan orang-orang dari tiap-tiap umat itu bukan Hari Qiamat, jadi ia tidak lain adalah Yaumul Raja’ah.
Adapun tentang perincian Yaumul Raja’ah itu tidak ada hadith-hadtih sahih yang menyatakannya. Hadith-hadith yang menyebutkan tentang perincian Yaumul Raja’ah adalah hadith-hadith dhaif sama ada dari segi dalalahnya ataupun sanadnya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Lutfollah Saafi Golpayegani dalam bukunya yang bertajuk “Aqidah Mahdi dalam Syiah Imamiyyah” menyatakan bahawa hadith-hadith perincian tentang Yaumul Raja’ah adalah hadith-hadith dhaif dan ditolak oleh ulama hadith syiah.
Aqidah Raja’ah mempunyai asas ajaran dalam al-Qur’an dan dinyatakan oleh para Imam Ahlul Bayt AS, oleh itu apakah wajar kita menolaknya?
14. Isu-isu al-Qur’an, Mushaf, dan Wahyu kepada Fatimah AS
Apabila dibicarakan tentang persamaan antara sunnah dan syiah berarti di situ pasti ada perbedaannya.
Permasalahannya apabila ada perbedaan, apakah pegangan kepada satu mazhab menjadi penilai
kebenaran dalam mengukur mazhab yang lain atau dikembalikan kepada Al Quran dan hadis dan
mengukurnya secara rasional yang bebas dari ketasuban bermazhab?
Fitnah terhadap syiah bukan satu yang baru dan sepertinya tidak akan berahkir. Setelah membaca banyak buku yang menyalahkan syiah, kami melihat hal ini disebabkan oleh beberapa perkara.
1- Menilai kebenaran berdasarkan mazhab tertentu.
2- Menafsir sendiri riwayat syiah tanpa melihat penfsiran ulama syiah tentang hadis tersebut, sehingga natijah yang diambil berdasarkan selera sendiri.
3- Mengambil kata-kata ulama sebagai sandaran tanpa menilai kembali pandangan mereka dan suasana mereka mengeluarkan fatwa.
4- Menungkilkan hadis separuh-separuh hingga menyebabkan maknanya berubah.
5- Menanggap apa saja yang tertulis dalam kitab-kitab hadis muktabar syiah itu sahih sebagai mana
Ahlu suunah menanggap semua yang ada dalam Bukhari itu sahih.
Kami berterima kasih kepada penulis ABC kerana komentarnya atas artikel ‘persamaan dan perbedaan antara sunnah dan syiah’. Izinkan kami di sini untuk mengomentar kembali tilisannya berdasarkan ukhwah islamiah dan perbahsan ilmiah tulen yang menjadi pemangkin kepada pendekatan antara mazhab2 islam untuk saling mengenali hingga tidak tibul tuduhan liar.
1- Al Quran
a- makna mushaf
Kebanyakan umat Islam menanggap bahwa perkataan ‘mushaf’ itu sinonim ‘Al Quran’. Sedangkan
dalam lisan Al Quran dan hadis Rasul tidak demikian. Mushaf itu artinya kumpulan tulisan dan
selepas wafat Rasul digunakan untuk ayat2 al quran dikumpulkan oleh para sahabat dan juga tulisan2
hadis.
Oleh karena itu jika ada perkataan mushaf dalam riwayat syiah jangan terus menanggap ia adalah Al Quran. Penulis ABC juga ada menukilkan riwayat dari Al Kafi yang menunjukan bahawa mushaf Fatimah bukan Al Quran tetapi kumpulan khabar yang di sampaikan oleh Jibril.
b- Wahyu untuk Fatimah as
Persoalannya di sini apakah ia mungkin atau tidak? Pertama kita perlu mengenal maqam Fatimah as terlebih dahulu. Tiada yang mengingkari bahwa ia adalah penghulu wanita, yang paling mulia antara 4 wanita yang termulia.
Kedua apakah Jibril boleh menurunkan wahyu untuk selain nabi. Yang mengatakan tidak berarti ia jahil tentang Al Quran. Dalam surah Ali Imran ayat 42 hingga 45 menceritakan pembicaraan jibril dengan Mariam. Dan Fatimah as lebih mulia dari Mariam. Riwayat tentang turunnya Jibril pada Fatimah banyak dalam kitab-kitab syiah. Sudah tentu mereka yang menjauhinya tidak akan meriwayatkan peristiwa tersebut.
15. Mazhab Ahlu Sunnah
a- Seperti penulis ABC setuju bahawa mazhab ahlu sunnah terbentuk secara evolusi. Malah pengikutnya hari ini pun tidak mengamalkan fatwa Imam2 mereka baik dari segi fiqih maupun akidah secara murni. Tetapi permasalahnnya bukan di sini tapi pada sumber hukum. Mereka mengenepikan Imam2 Ahlu Bait as. baik dalam fiqih maupun akidah. Bagaimana hati boleh aman dengan apa yang di amalkan sedangkan bahtera penyelamat umat Muhammad SAW ditinggalkan. Bukankah mereka sebagaimana sabda Ar Rasul SAW. Umpama ahlu baitku di dalam umatku seperti bahtera Nuh siapa yang menaikinya selamat siapa yang meninggalkannya akan tenggelam.
b- Para pemerintah yang zalim ketika itu mengambil kesempatan untuk menyebarkan fatwa para mujtahid tersebut dan menakutkan orang ramai dari mendekati Imam2 ahlu bait dan ulama mereka.
c- Penutupan pintu ijtihad oleh khalifah yang zalim bukan satu yang pelik tetapi yang pelik adalah apabila para ulama besar ahlu sunnah juga merelakan hal ini seperti Al Ghazali, Sayuti. Ibnu Hajar dll dan akhirnya percobaan membuka pintu ijtihad dianggap dosa besar sebagaimana penulisan hadis pada kurun pertama hijrah dan tidak melaknat Imam Ali pada hari jumaat pada 80 tahun pertama pemerintahan bani umaiyah. Sedangkan proses ijtihad terus subur dalam mazhab syiah dan tidak timbul kekalutan dalam permasalahan mujtahid palsu. Dan para muqalid sentiasa bertaqlid kepada mujtahid yang hidup pada setiap waktu.
16. Ahlul Sunnah Wa l-Jama’ah dan Ahlu Bait AS
Syiah menerima bahawa ahlu sunnah mencintai dan memuliakan ahlu bait, tetapi apakah mereka benar-benar meletakkan ahlu bait pada posisi yang Allah SWT telah letakkan? Apakah tiada hikmah mengapa mereka disucikan dan diwajibkan kecintaan ke atas mereka dan solat dan selawat tidak diterima tanpa menyebut mereka.
Jika ahlu sunnah benar2 menghormati mereka sepatutunya mereka juga perlu menghormati orang2 yang mengikuti mereka, bukan menuduh dengan hal2 yang tidak benar. Kita diwajibkan untuk mengikuti Al Quran, apakah tidak wajib kita mengikuti mereka yang disucikan untuk menjaga Al Quran dan mendampingi Al Quran.
17. Ilmu Para Imam AS
Hadis dari Imam Jaffar as Sadeq itu jelas menunjukkan, ilmu yang mereka miliki adalah kurnia Allah bukan mereka memiliki dengan sendiri, karena ini akan mendatangkan syirik.
Di dalam surah yunus ayat 20 dan an An’am jelas menunjukan bahawa yang mengetahui hal yang ghaib itu hanya Allah. Dan dalam surah az zhuruf ayat 4, al Buruj ayat 22, ar radh ayat 39, menunjuk bahwa ilmu Allah itu
terletak di kitab almknun, kitabun mubin, umul kitab, luh mahfuz. Ia juga dipanggil Imamul mubin “kulu sha’ain ahsaina hu fi Imamul mubin” walau namanya berbeda ia memiliki hakikat yang sama yaitu khazahna ilmu Allah yang Allah berikan kepada orang2 yang tertentu (surah aj jin ayat 27) dan tidak akan menyentuhnya kecuali yang disucikan (al waqih’ah ayat 79) dan kita semua tahu yang disucikan hanya ahlu bait (al ahzab ayat 33)
Jadi jika ada yang masih tidak faham yang ahlu bait mengetahui yang ghaib atas izin Allah dengan mengunakan dalil-dalil Al Quran yang jelas bererti orang tersebut mau meletakkan dirinya pada jalan kedegilan dan ketasuban.
18. Maqam Para Imam AS
a- Di dalam Al Quran membicarakan tugas para Rasul hanya sebagai hanya untuk menyampaikan saja (iblaq) dan tidak lebih dari itu. “ma ala Rasul ilal balaq” dan juga surah An Nissa, ayat 165 dan As Syura, ayat 3 dll.
Selain dari itu ada ayat2 yang membicarakan satu lagi maqam selain maqam Rasul dan memiliki tugas yang lain dengan tugas rasul iaitu maqam Imam ‘kami jadikan mereka Imam untuk memberi hidayah dengan urusan kami ketika mereka bersabar dan yakin dengan ayat2 kami’ surah as sajadah ayat 24.
Ayat di atas jelas menunjukkan sebagian Rasul di angkat menjadi Imam, satu maqam yang lebih tinggi dari maqam Rasul. Tugas Imam di sini berbeda dengan tugas Rasul yaitu sebagai pemberi hidayah.
Nabi Ibrahim sebagaimana dalam surah al Baqarah ayat 124 diangkat menjadi Imam selepas ia menjadi Rasul. Jelas di sini menunjukan maqam Imam lebih tinggi dari maqam Rasul. Persoalanya sekarang apakah maqam Imam ini berterusan? Sudah tentu selagi manusia wujud di atas muka bumi ini selagi itu manusia perlu kepada hidayah dan ini tugas Imam. Dalam surah di atas Allah juga mengangkat zuriah Ibrahim sebagai Imam sebagimana Ibrahim. Dalam surah Ar Radh, ayat tujuh, Allah SWT. berfirman “Sesungguhnya kau (Muhammad) pemberi peringatan dan untuk setiap kaum ada yang memberi hidayah”
Kami ulangi lagi bahawa tugas memberi hidayah adalah tugas Imam dan hanya Allah yang melantik Imam bukan manusia. Dan ayat ini jelas menunjukan Imam yang dilantik oleh Allah itu berterusan dan maqamnya lebih tinggi dari maqam Rasul. Apakah kita lupa pada satu hadis yang mahsyur yang bermaksud “ulama umatku lebih afdhal dari para nabi bani israel” atau kita menanggap hadis ini daif. Atau hadis yang mengatakan bahawa Nabi Isa as. akan solat dibelakang Imam Mahdi juga tidak benar.
b- Apakah pelik apabila kita mengatakan para Imam itu lebih mulia dari Malaikat sedangkan Abu Basyar Adam as. merupakan khalifah pertama dari sekian kahlifah Allah mendapat didikan langsung dari Allah (syarat khalifah Allah) dan menjadi guru kepada para Malaikat dan menjadi sujutan Malaikat, apakah ini tidak menunjukan bahawa maqam insan lebih mulia dari maqam malaikat? apakan lagi maqam imam. Apakah ini berarti mendewakan mereka atau meletakan mereka pada tempat yang sewajarnya?
Apakah menjadikan semua sahabat itu adil dan tidak boleh disentuh dan dikritik bukan pendewaan? Dan bila keisalaman dan kekufuran seseorang diukur dengan sahabat? Apakah ini bukan pendewaan terhadap mereka? Apakah segala perubahan yang dilakukan oleh khalifah pertama, kedua, ketiga tidak mengubah hukum Allah? Dan apabila menerima perbuatan mereka dan menolak hukum Allah bukan pendewaan?
19. Maqam Imam ‘Ali AS
Mereka menyatakan Syiah mempercayai Saidina Ali as separuh Tuhan, menganggap guruh dan petir itu suara Ali, mempercayai imam-imam 12 itu lebih baik dari para malaikat yang muqarrabun kepada Tuhan, menggunakan mushaf al-Quran lain dari mushaf Uhtman dan lain-lain.
Di dalam Usul al-Kafi oleh al-Kulaini dilaporkan bahwa Abu Basir seorang kepercayaan
Imam Jaafar telah datang berjumpa dengan Imam Jaafar. Abu Basir bertanya kepada Imam Jaafar berhubungan dengan ilmu dan kelebihan Saidina Ali dan imam imam syiah… didalam buku tulisan Al Kualaini tersebut Imam Jaafar telah dikatakan menjawab sedemikian.. “Kita juga ada Mushaf Fatimah dan apakah yang orang ramai tahu tentang Mushaf Fatimah ? Ianya adalah sebuah Mushaf yang tiga kali lebih besar dari Al Quraan dan tidak ada satu ayat Al Quraan mereka didalam nya. (Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 146)
Seterusnya Imam Jaafar bila ditanya lagi oleh Abu Basir berhubung dengan Mushaf Fatima , Abu Basir menyatakan Imam Jaafar menyebut : “ Apabila Allah menaikkan Rasul Nya dari dunia (wafat) … Fatimah menjadi terlalu sedih yang teramat sangat dan berduka cita yang hanya diketahui oleh Allah saja. Allah kemudian menurunkan malaikat untuk membujuknya semasa kesedihan tersebut dan malaikat tersebut telah berbicara dengan Fatimah. Fatimah menceritakan peristiwa tersebut kepada Ali dan Ali meminta Fatimah memberitahunya apabila malaikat tersebut datang. Setiap kali malaikat datang Ali telah mencatatkan segala yang disebut oleh malaikat tersebut… dan Inilah yang di panggil mushaf Fatimah. Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 147)
Al Kulaini seterusnya di dalam kitab yang sama menyatakan bahawa Jabir Al Jufi berkata “aku telah mendengar Muhammad Al Baqir berkata “ Seseorang tidak akan mengatakan bahawa Al Quraan telah diturunkan sekelompok kecuali dia itu pendusta. Tiada seorang pun yang mengumpul dan menghafal semuanya yang di turunkan Nya kecuali Abi bin Abi Talib dan para pengikut sesudahnya. “ muka surat 228
Komentar
Kesimpulan dari paparan di atas… bagaimana mungkin seorang ahli sunnah tidak menyatakan keheranannya diatas isu adanya orang-orang syiah yang berpahaman ujudnya satu kitab Al Quraan yang selain nya dari mushaf Othman…. Apabila perkara sedemikian memang tertulis didalam salah sebuah kitab pokok rujukan Syiah iaitu Usul al-Kafi oleh al-Kulaini. Nota: Permasalahannya ialah pihak Ahlul Sunnah tidak dapat membedakan antara hadith yang sahih atau sebaliknya dalam kitab-kitab Syiah. Menurut Imam Ja’far al-Sadiq AS hadith yang bertentangan dengan al-Qur’an hendaklah ditolak samasekali. Imam Ja’far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAWA [bermaksud]: ” Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya dari aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang dariku.” [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5.
Pengertian umum, Ahlul Sunnah ialah siapa yang mengikut Sunnah Nabi SAW kemudian ia dihimpun kepada empat madzhab fiqh yang diketuai oleh Imam Malik yang lahir pada tahun 95 Hijrah dan meninggal tahun 179 Hijrah, Abu Hanifah yang lahir tahun 80 Hijrah dan meninggal tahun 150 Hijrah, Syafie yang lahir tahun 150 Hijrah dan meninggal tahun 204 Hijrah, dan Ibnu Hanbal yang lahir tahun 164 Hijrah dan meninggal tahun 241 Hijrah.
Bersikaplah adil tehadap Syi'ah !! tidak semua Syi'ah sesat.
Renungan Muharram : bermacam aliran aliran Syiah
Imam Syafei menyatakan sbb :
In kaana rofdlonhubbu ila Muhammadin - Fal yasyahadisy syaqolanu inni rofdiyyi. "Jika saya akan dituduh orang Syi'ah karena saya mencintai keluarga Muhammad, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah"
Pernyataan tersebut dilontarkan beliau pada saat kekhalifaan beliau dan berhasil menyatukan umat yang sedang dilanda perpecahan kedalam satu wadah "Ahlul Sunnah Wal Jamaah".
Hendaknya kita jangan terperosok kedalam dikotomi yang seakan akan Sunni benar, Syiah Sesat atau sebaliknya Syiah Benar Sunni Sesat, akan tetapi kajilah secara bijaksana dan bacalah sejarah dengan keimanan kita kepada Allah SWT dan Kecintaan kita kepada Rasulullah SAWW dan hayatilah ayat berikut ini yang disebut ummul Sholawat : "Innalloha wamala'ikatahu yussoluna alannabi - Ya ayyuhalladzi na'amanu sollu alaihi wassalimu taslima" (QS Al-Ahzaab 33:56) .
Disitus situs Islam dan berbagai buletin Islam banyak artikel artikel tentang kesesatan syiah, yang permasalahannya syiah yang mana? berikut ini uraian uraian aliran/mazhab syiah yang perlu kita ketahui.
Menurut bahasa, kata Syiah berarti pendukung. Seperti Syiah Ali berarti pendukung Ali, Syiah Muawiyah berarti pendukung Muawiyah.
Pada dasarnya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali belum ada Syiah yang berarti aliran secara resmi, sekalipun nama itu telah ada dan berkumandang, seperti pada saat pemilihan khalifah ke III, yaitu Utsman bin Affan ada sekelompuok masyarakat yang mendukung Ali bin Abu Thalib, tetapi setelah umat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab r.a., maka yang tadinya kelompok yang mendukung Ali bersatu untuk mendukung Utsman bin Affan r.a., sebagai Khalifah, termasuk Ali bin Abu Thalib r.a. Dengan demikian, sejarah organisasi atau aliran yang bernama Syiah pada saat itu secara resmi belum ada.
Dalam kitab At-Ta'rifat disebutkan bahwa Syiah adalah mereka yang mendukung Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai khalifah, dan mereka mengatakan bahwa kepemimpinan tidak akan keluar dari Imam Ali dan cucu-cucunya.
Awal Munculnya Syiah
Setelah terjadi perang saudara antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah, maka mulailah muncul nama Syiah sebagai nama sebuah aliran atau golongan, yang saat itu kelompok Syiah adalah suatu kelompok yang sangat gigih membela Khalifah Ali bin Abu Thalib, sekalipun kelompok Muawiyah juga disebut Syiah dalam arti pembela atau pendukung Muawiyah dan bukan nama sebuah kelompok atau aliran resmi. Hal itu terbukti bahwa dalam pelaksanaan perjanjian "Tahkim" di mana di dalam perjanjian itu disebutkan bahwa apabila orang yang ditentukan itu berhalangan, maka diisi oleh orang-orang dari Syiah masing-masing, namun kedua kelompok itu, baik Syiah Ali atau Muawiyah sama-sama Ahli Sunnah wal-Jamaah, mereka mengikuti ajaran Nabi saw. secara utuh tanpa membuat-buat ajaran sendiri, seperti yang terjadi pada sebagian aliran-aliran Syiah saat ini, yang ajarannya merupakan racikan sendiri, sekalipun ada sekelompok Syiah yang masih berpegang teguh dengan ajaran Allah dan rasul-Nya secara utuh.
Firqah-Firqah Syiah
Secara umum kelompok Syiah dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar. Sebab firqah-firqah Syiah yang jumlahnya mencapai ratusan dan sebagian riwayat menyebutkan sampai 300 aliran itu semua bermuara dari empat kelompok besar tersebut.
Syiah Al-Mukhlashin
Yaitu kelompok Syiah yang pada saat Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah telah ada, mereka ini terdiri dari kalangan muhajirin dan anshar yang mendukung Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah, mereka tidak mengafirkan, mencaci, menghina, dan membenci s-ahabat, mereka juga berpegang teguh dengan ajaran Allah dan rasulNya secara utuh dan tidak membuat ajaran sendiri, tidak menambah, mengurangi, mengubah, atau memalsukan ajaran Islam.
Syiah Tafdliliyah
Yaitu kelompok Syiah yang sepenuhnya mendukung Khalifah Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah, melebihi sahabat Nabi saw. lainnya, namun mereka juga tidak mengafirkan, mencaci, menghina, atau membenci para sahabat Nabi saw., seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Syiah As-Sab'iyah
Kelompok Syiah ini juga disebut Syiah At-Tabri'iyah. Kelompok Syiah inilah yang mengafirkan, mencaci, dan menghina sahabat Nabi saw., seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka berlebihan dalam memuji sahabat Ali dan membelanya dan bahkan ada yang menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib adalah nabi, ada pula yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan.
Syiah Ghulat
Yaitu kelompok Syiah yang mengatakan secara terang-terangan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah Tuhan, bahkan Al-Jahd mengatakan bahwa roh Allah adalah roh Ali bin Abu Thalib. Kelompok Syiah ini pecah menjadi 24 golongan.
Perpecahan di Tubuh Syiah
Berpangkal dari empat kelompok besar tersebut, Syiah pecah menjadi puluhan bahkan ratusan golongan, dan tiap-tiap golongan mempunyai ajaran yang kadang-kadang berbeda akidah dan syariatnya antara satu dengan yang lainnya. Ada yang jauh dari ajaran Islam dan ada yang masih berpegang teguh dengan ajaran Islam secara utuh, ada pula yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan ajaran para imam mereka. Lain dari itu, tidak semua kelompok Syiah dapat berkembang sampai saat ini, hanya ada beberapa kelompok Syiah yang sampai saat ini masih eksis, seperti Syiah Imamiyah yang saat ini berkembang di berbagai negara Islam di dunia ini. Sebagai contoh adanya perpecahan di tubuh Syiah adalah perpecahan yang terjadi di tubuh Syiah Saba'iyah dan Syiah Ghulat.
Syiah Ghulat
Syiah Ghulat adalah kelompok Syiah yang berlebihan dalam memuja Sayidina Ali bin Abu Thalib, bahkan menganggapnya sebagai Tuhan dan roh Allah adalah roh Ali. Kelompok Syiah ini pecah menjadi 24 golongan.
Syiah Saba'iyah
Adalah kelompok Syiah yang dinahkodai oleh Abdullah bin Saba', salah seorang Yahudi tulen yang mengaku dan pura-pura masuk Islam. Mereka menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib adalah Tuhan, bahkan pada saat Ali r.a. wafat ia mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib belum meninggal dan tidak akan meninggal.
Syiah Al-Mufadliliyah
Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Mufadlal as-Saifary. Mereka bekeyakinan bahwa amir atau imam atau khalifah derajatnya sama dengan derajat nabi, mereka mempunyai otoritas ketuhanan.
Syiah As-Sarighiyah
Yaitu kelompok Syiah yang sepaham dengan Syiah Al-Mufadliliyah.
Syiah Al-Bazi'iyah
Yaitu kelompok Syiah di bawah kepemimpinan Bazi' bin Yunus, mereka meyakini bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq adalah Tuhan.
Syiah Al-Kamiliyah
Yaitu kelompok Syiah yang dipelopori oleh Abu Kamil. Mereka meyakini bahwa orang yang telah meninggal dunia rohnya dapat berpindah-pindah kepada orang lain.
Syiah Mughayiriyah
Yaitu kelompok Syiah pimpinan Mughirah bin Sa'id al-Ajaly. Mereka berkeyakinan bahwa Allah berjasad dan berwujud sebagai seorang laki-laki.
Syiah Jinahiyah
Syiah kelompok ini dipimpin oleh Abdullah bin Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far Dzil Janahaini. Mereka berkeyakinan bahwa roh manusia dapat berpindah-pindah dan pada mulanya roh Allah adalah Nabi Adam.
Syiah Al-Bayaniyah
Yaitu kelompok Syiah pimpinan Bayan bin Sam'an at-Tamimi. Mereka berkeyakinan bahwa Allah berwujud seperti manusia.
Syiah Al-Manshuriyah
Yaitu kelompok Syiah piminan Abu Manshur al-Ajaly. Mereka berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tidak terputus selamanya.
Syiah Al-Ghamamiyah
Syiah Al-Ghamamiyah juga disebut Syiah Ar-Rabi'iyah. Mereka berkeyakinan bahwa Allah setiap musim semi turun ke tiga bumi dalam keadaan terhalang oleh awan dan berputar-putar mengelilingi dunia kemudian naik ke langit lagi.
Syiah Al-Imamiyah
Yaitu kelompok Syiah yang menganggap bahwa kedudukan imam atau amir atau khalifah mereka sama dengan nabi, mereka berhak untuk membuat ajaran atau syariat tanpa merubah syariat aslinya yang berasal dari Al-Qur’an dan Rosululloh. Tapi tugas pokok para imam tersebut adalah menjaga keaslian/keutuhan aqidah islam. Syiah jenis inilah yang saat ini berkembang biak dan maju pesat yang dewasa ini telah tersebar ke berbagai negara-negara di belahan dunia ini, termasuk di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan lain-lain, lebih-lebih di Timur Tengah dan khususnya di Iran yang merupakan basis perkembangan Syiah Imamiyah. Syi’ah imamiyah terbagi menjadi 2 golongan yakni syi’ah imamiyah itsna ‘asyariyah (12 imam ) dan syi’ah zaidyah ( imam lima).
Syiah At-Tafwidliyah
Yaitu krlompok Syiah yang beranggapan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad saw kemudian memerintahkan-Nya menciptakan isinya.
Syiah Khattabiyah
Yaitu kelompok Syiah pimpinan Abu Khattab al-Asady. Mereka berkeyakinan bahwa para imam atau amir mereka adalah nabi. Dan juga mensifati Imam ja’far as-shodiq dengn sifat-sifat ketuhanan sehingga imam ja’far as-shodiq berlepas tangan atas mereka.
Syiah Al-Ma'damariyah
Yaitu Syiah kelompok Al-Ma'mar. Mereka berkeyakinan bahwa Imam Ja'af ash-Shadiq adalah nabi.
Syiah Al-Ghurabiyah
Yaitu kelompok Syiah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. sama wajah dan postur tubuhnya seperti Ali bin Abu Thalib, laksana burung gagak dengan burung gagak. Dan, pada saat Allah mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada Ali bin Abu Thalib salah alamat kepada Muhammad saw. karena raut wajahnya yang sama, sehingga Jibril tidak dapat membedakannya, maka jadilah Nabi Muhammad saw. sebagai nabi yang seharusnya adalah Ali yang menjadi nabi.
Syiah Zubabiyah
Adalah kelompok Syiah yang termasuk bagian dari Syiah Al-Ghurabiyah, hanya saja mereka mengatakan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah nabi dan kenabiannya bukan karena Jibril pada saat memberikan wahyu salah alamat, memang Nabi Muhammadlah yang diutus oleh Allah sebagai nabi dan bukan Ali.
Syiah Adz-Dzammiyah
Yaitu kelompok Syiah yang selalu mencaci-maki dan menghina Nabi Muhammad saw., karena menurut mereka yang berhak menjadi nabi adalah Ali bin Abu Thalib dan bukan Muhammad.
Syiah Al-Itsniyaniyah
Kelompok Syiah ini termasuk Syiah Adz-Dzammiyah, hanya bedanya Syiah ini menganggap bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Tuhan dan bukan nabi.
Syiah Al-Khamsiyah
Yaitu kelompok Syiah yang juga termasuk bagian dari Syiah Dzammiyah, mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad saw., Ali bin Abu Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husein adalah Tuhan.
Syiah An-Nusairiyah
Yaitu kelompok Syiah yang berkeyakinan bahwa Allah menitis kepada Ali bin Abu Thalib dan anak-anaknya.
Syiah Al-Ishaqiyah
Yaitu kelompok Syiah yang berkeyakinan bahwa roh Tuhan menitis kepada Ali bin Abu Thalib, namun mereka berselisih paham, setelah Ali meninggal dunia roh Tuhan tersebut menitis kepada siapa saja.
Syiah Al-Albaiyah
Yaitu kelompok Syiah pimpinan Al-Ba' bin Arwa' al-Asady. Mereka berkeyakinan bahwa amir atau imam mereka adalah Tuhan dan derajatnya sama dengan Tuhan dan bahkan lebih tinggi daripada nabi.
Syiah Ar-Razamiyah
Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Muhammad bin Al-Hanafiyah dan setelah meninggal digantikan oleh putranya, kemudian diganti oleh Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, kemudian diganti oleh putranya Abu Al-Manshur. Mereka berkeyakinan bahwa Allah menitis kepada Abu Muslim, dan meyakini bahwa Abu Muslim tidak akan meninggal dunia selama-lamanya.
Syiah Al-Muqannaiyah
Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Al-Muqanna'. Para pengikutnya meyakini bahwa Al-Muqanna' adalah Tuhan, setelah meninggalnya Al-Husain. Wallaahu a'lam
Sumber: Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc
Buku Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya oleh Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc telah diterbitkan oleh penerbit LPPI Riyadhus Shalihin, Jln. Curug Cempaka Blok III, No. 97, Jatiwaringin, Pondok Gede, Telp. (021) 8618791, Jakarta) Al.islam.or.id
Janganlah kita ragu & bingung...
peganglah pada madzhab Syiah Rasulullah SAW & Ahlul Baitnya, dan peganglah ucapan Imam Syafei : "Jika saya akan dituduh orang Syi'ah karena saya mencintai keluarga Muhammad, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah "
insya Allah kita akan selamat.
Senin, 27 April 2009
benarkah syi'ah rafidlah?
Syiah adalah Rafidhah?
Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim. Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik. Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya. Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.
Jika pecinta keluarga Muhammad saww disebut Rafidhah Maka, saksikanlah wahai Tsaqolan (jin dan manusia) bahwa diriku adalah Rafidhi. (Diwan imam Syafi’i ra Hal:55)
Rafidhah, lagi-lagi sebuah julukan yang masih juga diidentikan dengan Syiah Imamiah. Istilah ini baru dikenal semenjak abad kedua Hijriyah. Itupun dipakai untuk para penentang kekuasaan tertentu yang berkuasa pada zaman itu. Para penguasa kala itu ingin menjadikan para penentangnya memiliki kesan buruk di hadapan publik, oleh karenanya melalui beragam propaganda mereka mencari julukan negatif bagi mereka yang tidak sejalan dengan pikirannya. Julukan rafidhah adalah salah satu predikat negatif yang diberikan oleh penguasa kala itu untuk para penentangnya. Mungkin pada masa itu, Rafidhah memiliki kemiripan dengan julukan ekstrimis atau teroris pada zaman sekarang ini. Julukan-julukan miring semacam itu sengaja dibikin oleh yang kuat terhadap yang lemah, yang mayoritas untuk yang minoritas, yang zalim untuk yang teraniaya (mazlum)…dsb.
Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab ingin memberikan julukan miring tersebut untuk rival pemikirannya. Akhirnya, julukan Rafidhah diperluas pemakaiannya terhadap aliran pemikiran yang dianggap lemah, minoritas, teraniaya… untuk dijadikan sarana pengelabuhan kesadaran publik. Yang lebih fatal dari itu, sang pemakai istilah tersebut justru menyandarkan pemakaian julukan tersebut dengan landasan hadis-hadis dza’if yang dinisbatkan kepada Rasulullah saww. Lantas, siapakah gerangan yang dapat menjadi obyek empuk untuk gelar tersebut? Ya…! Siapa lagi kalau bukan Syiah Imamiah Itsna Asyariyah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan mazhab al-Ja’fariyah, adalah sasaran empuk untuk mendapat predikat negatif itu.
Kenapa mesti Syiah al-Ja’fariyah? Salah satu penyebabnya adalah karena hanya Syiah Ja’fariyah satu-satunya mazhab yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk tidak berpangku-tangan atas setiap perbuatan zalim yang dilakukan oleh individu manapun, termasuk para penguasa. Itu terbukti, baik jika dilihat dari teks ajaran mazhabnya, maupun pemaraktekkannya dalam kehidupan mereka. Dalam sejarah didapatkan bagaimana usaha mereka untuk menegakkan keadilan yang dipelopori oleh para imam suci mereka. Para Syiah Ahlul Bait selalui berusaha mengkritisi sepak terjang para penguasa yang selalu cenderung bertentangan dengan ajaran Rasulullah saww, sementara di sisi lain mereka (imam-imam suci) juga menamakan dirinya sebagai khalifah (pengganti) Rasul. Hal inilah yang tidak disukai oleh para penguasa zalim –Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah– kala itu. Oleh karenanya, tekanan demi tekanan mereka lakukan untuk membendung tersebarnya ajaran Syiah. Mereka tak segan-segan melakukan pembantaian masal demi tercapainya tujuan mereka, dan kelangsungan dinasti mereka. Dari situlah terjawab sudah pertanyaan, kenapa Syiah selalu teraniaya dan minoritas? Namun, karena kehendak Ilahi, walau tekanan demi tekanan dari pihak musuh-musuh Islam beserta kaki-tangannya dengan gencar terus menghadangnya, mazhab ini tetap eksis di tengah-tengah umat.
Terminologi Rafidhah:
Dalam terminologi istilah Rafidhah, kata itu berasal dari kata ra-fa-dha yang berarti menolak dan meninggalkan sesuatu. Istilah ini sering diidentikkan dengan kaum Syiah Imamiah yang menolak akan kepemimpinan tiga khalifah pra-kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as, dan hanya mengakui kepemimpinan Ali as pasca wafat Rasulullah saww.[1] Abul-Hasan al-Asy’ary dalam kitab “Maqolat al-Islamiyin” menyatakan, julukan ini pertama kali dilontarkan oleh Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib atas para Syiah di kota Kufah. Masih menurut al-Asy’ary, pada mulanya, para Syiah di Kufah memberikan baiatnya kepada Zaid, namun mereka tidak konsekwen terhadap baiatnya. Mereka tidak mau mengindahkan perintah Zaid untuk tetap menghormati dan memuliakan Abu Bakar dan Umar.
Oleh karena itu, Zaid menjuluki mereka dengan sebutan Rafidhah.[2] Akan tetapi, pendapat ini memiliki banyak celah untuk dibatalkan, mengingat bahwa banyak pakar sejarah yang menyebutkan secara detail sejarah hidup terkhusus kesyahidan Zaid bin Ali, namun tidak satupun dari mereka yang menyebutkan akan hal pengungkapan Zaid di atas tadi. Selain dari itu, para ahli sejarah hanya menyebutkan bahwa para penghuni kota Kufah tidak mengindahkan kebangkitan Zaid bin Ali, dan membiarkannya bergerak sendiri tanpa bantuan penduduk Kufah.[3] Hal itu sama persis sebagaimana yang terjadi pada kakek Zaid, Husein bin Ali as, cucu Rasulullaha saww. Husein bin Ali pada tragedi Karbala, tak dapat dukungan dari penduduk kota Kufah. Dengan demikian, penisbatan istilah itu yang bermula dari Zaid bin Ali sama sekali tidak berasas pada bukti sejarah yang kuat.
Di sisi lain, telah terbukti bahwa istilah Rafidhah digunakan untuk pribadi-pribadi yang meragukan legalitas kekuasaan suatu rezim dan pemerintahan tertentu. Jadi, istilah ini lebih bermuatan politis ketimbang teologis. Nasr bin Muzahim (Wafat tahun 212 H) dalam salah satu karyanya yang berjudul Waqoatu Shiffin menyatakan bahwa Muawiyah dalam suratnya yang ditujukan kepada Amr bin ‘Ash –yang saat itu tinggal di Palestina– menyebutkan: “Perkara tentang Ali, Thalhah dan Zubair telah kamu ketahui, namun (ketahuilah bahwa) Marwan bin Hakam telah bergabung dengan para Rafidhah (penentang) dari penduduk kota Bashrah, dan Jarir bin Abdullah telah melawan kita…”[4] Dari sini ada beberapa poin yang dapat diambil pelajaran; Pertama, awal kemunculan istilah rafidhah sangat bermuatan politis, bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ihwal teologis. Muawiyah menyebut Marwan bin Hakam beserta para pendukungnya sebagai Rafidhah, karena ia telah bergabung dengan para penduduk kota Bashrah yang kala itu mayoritas tidak mengakui legalitas pemerintahan Ali as yang berpusat di kota Kufah. Kedua, istilah itu telah ada sebelum kelahiran Zaid bin Ali, bukan sebagaimana yang telah diceritakan oleh Abul Hasan al-Asy’ary di atas.
Pribadi-pribadi yang Dinyatakan Rafidhi pada Kitab-kitab Ahlussunnah
Julukan Rafidhah mempunyai konotasi miring. Orang akan enggan untuk dijuluki dengan sebutan itu. Pihak ketiga pun akan menghindar di saat bertemu orang yang dianggap memiliki gelar tadi. Itulah salah satu dampak negatif propaganda yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Pada masa kekuasaan kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah para pecinta Ahlul-Bait sangat ditekan. Tekanan atas Syiah yang dilancarkan oleh kedua dinasti tadi menggunakan berbagai cara, termasuk propaganda julukan Rafidhah. Tujuan propaganda tersebut adalah untuk mengisolir para Syiah dari saudara-saudaranya sesama muslim. Namun tidak sepenuhnya propaganda itu terlaksana dengan baik. Terbukti ada beberapa pribadi Syiah –yang diberi gelar Rafidhah– yang terdapat dalam kitab-kitab standar Ahlussunnah. Walau mereka terbukti Syiah namun tetap saja hadis yang mereka bawakan tercantum dalam enam kitab induk Ahlussunnah. Sebagai contoh:
1- Kendati Ibn Hajar menyatakan bahwa Ismail bin Musa al-fazazi sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Abi Dawud[5] juga Ibn Majah[6] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis yang ia bawakan.
2- Meskipun Ibn Hajar menyatakan bahwa Bakir bin Abdullah at-Tha’i sebagai pribadi yang dianggap Syiah, namun Muslim dalam kitab Shohih-nya[7] dan Ibn Majah dalam Sunan-nya[8] menukil hadis-hadis yang ia riwayatkan.
3- Begitu juga dengan Talid bin Sulaiman al-Muharibi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah) oleh Abu Dawud, dimana ia berkata: “Ia adalah Rafidhi yang keji dan jelek, dan yang memusuhi Abu Bakar serta Umar”[9] Namun, at-Turmuzi dalam kitab Sunan-nya[10] tetap menukil hadis darinya.
4- Ibn Hajar menyatakan bahwa Jabir bin Yazid al-Ju’fi adalah pengikut Syiah (Rafidhah)[11], namun Abu Dawud[12], Ibn Majah[13] dan at-Turmuzi[14] dalam kitab Sunan mereka tetap menukil hadis-hadis darinya.
5- Dan masih banyak lagi pribadi-pribadi yang dinyatakan Syiah (Rafidhah), namun hadis-hadisnya tetap tercantum dalam kitab-kitab standart Ahlussunnah. Seperti; Jumai’ bin Umair, Haris bin Abdullah al-Hamdani, Hamran bin A’yun, Dinar bin Umar al-Asadi…dsb.[15]
Hadis-hadis tentang Rafidhah:
Setelah kita mengetahui bahwa istilah Rafidhah dipakai untuk para rival politik sebuah kekuasaan tertentu. Istilah itu mempunyai konotasi negatif bagi khalayak umum, berkat adanya propaganda para penguasa zalim pada abad-abad permulaan awal kemunculan Islam. Namun, lama-kelamaan istilah itu dipakai oleh para musuh Syiah untuk mengganyang Syiah, bahkan tak jarang mereka pun (para musuh Syiah) menyandarkannya pada hadis-hadis yang bermasalah dari sisi sanad hadis, yang berakhir pada peraguan dari sisi kesahihannya. Sebagai contoh, ada empat hadis yang bersumber dari Ibn Abi ‘Ashim tentang pencelaan terhadap Syiah.[16] Doktor Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qoffary dalam kitab Ushul Mazhab Syi’ah menyatakan bahwa Nashiruddin al-Bani[17] sendiri mengemukakan bahwa hadis-hadis yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim tadi jika dilihat dari sanad hadisnya amat lemah. Dr. al-Qoffari dalam kitab tersebut menyatakan: “Ibn Taimiyyah menukil (membenarkan) hadis-hadis Marfu’ah[18] yang menyinggung tentang kata-kata Rafidhah di dalamnya. Padahal, sebutan Rafidhah hingga abad kedua Hijriyah masih belum dikenal”.[19]
Salah satu riwayat yang dibawakan oleh Ibn Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah adalah hadis: “Aku beri kabar gembira engkau wahai Ali, engkau beserta para sahabatmu adalah (calon) penghuni Surga. Namun, ada sekelompok orang yang mengaku sebagai pecinta-mu padahal mereka adalah penentang (penolak) Islam. Mereka disebut ar-Rafidhah. Jika engkau bertemu dengan kelompok tersebut maka perangilah mereka, karena mereka telah musyrik. Aku (Ali) berkata: Wahai Rasulullah, apakah gerangan ciri-ciri mereka? Beliau menjawab: “Mereka tidak menghadiri (shalat) Jum’at dan jama’ah, dan mencela para pendahulu (salaf)” [20] oleh as-Syaukani, hadis ini dikategorikan sebagai hadis Maudhu’ (buatan).[21]
Contoh lain dari hadis tentang Rafidhah adalah hadis yang dinukil oleh at-Tabrani bahwa Rasul bersabda: “Wahai Ali, akan datang pada umat-ku suatu kelompok yang mengaku sebagai pecinta Ahlul-Bait, bagi mereka …., mereka disebut Rafidhah. Bunuhlah mereka, karena mereka telah kafir”. Akan tetapi, dikarenakan sanad hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang seperti Hajjaj bin Tamim yang sama sekali tidak dapat dipercaya, maka hadis ini masuk kategori hadis Dza’if (lemah).[22]
Dalam kitab ad-Dala’il disebutkan bahwa Al-Baihaqi setelah menukil hadis Marfu’ yang bersumber dari Ibn Abbas tentang celaan terhadap Rafidhah, menyatakan: “Banyak sekali hadis-hadis serupa tentang hal yang sama dari sumber-sumber yang berbeda, namun kesemua sanad-nya tergolong lemah”[23]
Dan masih banyak lagi beberapa ulama hadis dari Ahlussunnah yang menyatakan kelemahan hadis-hadis berkaitan dengan Rafidhah yang kebohongan itu disandarkan kepada Rasulullah. Bisa dilihat kembali karya-karya ulama Ahlussunnah seperti karya kepunyaan al-‘Aqili yang berjudul ad-Dhu’afa’, Ibn Jauzi dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah ataupun al-Maudhu’aat.
Dari sini jelaslah, bahwa istilah Rafidhah adalah istilah murni politis dan tidak ada kaitannya dengan pembahasan teologis, termasuk masalah kekhilafahan pasca Rasul. Namun istilah itu dinisbatkan untuk para pecinta Ahlul-Bait (Syiah) oleh para pembenci Syiah. Mereka dalam kasus pemaksaan gelar Rafidhah untuk kelompok Syiah, tidak segan-segan menggunakan kebohongan atas nama Rasulullah saww. Bukankah kebohongan atas diri Rasul merupakan bagian dari menyakiti Rasul? Dan menyakiti Rasul termasuk dosa besar, yang pantas dilaknat oleh Allah?[24] Bukankah kebohongan atas Rasul juga berakibat kebohongan atas segenap kaum muslimin? Mengingat kaum muslimin sampai akhir zaman akan selalu mengikuti hadis-hadis Rasulullah. Bukankah pembohong layak untuk dilaknat?[25] Membenarkan, memegang erat dan mengajarkan hadis palsu –atas dasar pengetahuannya– adalah termasuk sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya, hendaknya kita berusaha untuk menghindarinya seoptimal mungkin agar tidak termasuk orang yang sesat dan menyesatkan.
Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)…dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-oranmg yang zalim. (al-Hujuraat :11) [islamalternatif]
———————————
Catatan Kaki:
[1] Al-Asy’ary, Abul-Hasan, Maqolat al-Islamiyin, Jil:1 Hal:88-89
[2] Ibid, Hal:138
[3] Amin, Muhsin, A’yan as-Syi’ah, Jil:1 Hal:21
[4] Al-Manqory, Nasr bin Muzahim, Waqoatu Shiffin, Hal:29
[5] Sunan Abi Dawud, Jil:4 Hal:165 Hadis ke-4486
[6] Sunan Ibn Majah, Jil:1 Hal:13 Hadis ke-31
[7] Shohih Muslim, Jil:1 Hal:529, Kitab Sholat Musafirin wa Qoshruha
[8] Sunan Ibn Majah, Jil: 1 Hal:170, Kitab at-Thoharoh
[9] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:322
[10] Sunan at-Tirmizi, Jil:5 Hal:616, Kitab al-Manaqib hadis ke-3680
[11] Tahdzib al-Kamal, Jil:4 Hal:468 No:879
[12] Sunan Abu Dawud, Jil:1 Hal: 272, Kitab as-Sholat Hadis ke-1036
[13] Sunan Ibnu Majah, Jil:1 Hal:381 Hadis ke-1208
[14] Sunan at-Turmuzi, Jil:2 Hal:200, Bab: “Maa Jaa’a fi al-Imam yanhadhu fi ar-Rak’atain naasiyan”
[15] Untuk lebih detailnya, lihat kitab “al-Muraaja’aat” karya Syarafuddin al-Musawi.
[16] Lihat: Ibn Abi ‘Ashim, as-Sunnah, Jil:2 Hal:475
[17] Seorang ahli hadis terkemuka dari kalangan salafi (wahabi).
[18] Hadis marfu’ adalah hadis yang tidak jelas sanadnya.
[19] Ushul Mazhab as-Syiah, bagian Sejarah Syiah (Tarikh as-Syiah)
[20] Ibid: Jil: 2 Hal: 475
[21] Al-Ahadist al-Maudhu’ah, Hal:380
[22] Taqrib at-Tazhib, Jil:1 Hal:152
[23] ad-Dala’il, Jil:6 Hal:548
[24] Lihat Q S al-Ahzab :57
[25] Lihat Q S ali-Imran :61
abdullah bin saba' hanyalah rekayasa (fiktif) umat yang ingin memecah belah Islam
Abdullah Bin Saba’ Pendiri Syiah, Benarkah?
Mereka semua itu sebenarnya telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba’ dari satu sumber yaitu; Sayf ibn Umar at-Tamimi dalam bukunya “al-Futuh al-kabir wa al-riddah dan al-Jamal wal-masir Aishah wa Ali”. Dari cerita Sayf inilah beberapa orang penulis telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba’ tersebut. Padahal pribadi Sayf adalah seorang penulis yang tidak dipercaya oleh kebanyakan penulis-penulis kitab rijal seperti Yahya ibn Mu’in, Abu Dawud, al-Nasai, Ibn Abi Hatim, Ibn al-Sukn, Ibn Hibban, al-Daraqutni, al-Hakim, al-Firuzabadi, Ibn Hajar, al-Suyuti, dan al-Safi al-Din. Istilah Saba’iyyah diberikan maksudnya yang baru oleh Sayf ibn Umar pada pertengahan kedua tahun Hijrah yang menggunakannya untuk ditujukan kepada golongan sesat yang kononnya diasaskan oleh tokoh khayalan Abdullah ibn Saba’.
—————————————————
Abdullah Bin Saba’ Pendiri Syiah, Benarkah?
Tuduhan bahwa madzhab syiah adalah ajaran dari si Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’ telah lama diketengahkan kepada masyarakat muslim dan semacam sudah merasuk di tengah masyarakat bahwa syiah adalah ajaran Yahudi Abdullah ibn Saba’ yang berpura-pura memeluk Islam tetapi bertujuan untuk menghancurkan pegangan aqidah umat Islam.
Abdullah bin Saba’ dikatakan sebagai pendiri madzhab Saba’iyyah yang mengemukakan teori bahwa Ali adalah wasi Muhammad SAWW. Abdullah ibn Saba’ juga dikenali dengan nama Ibn al-Sawda’ atau ibn ‘Amat al-Sawda’- anak wanita kulit hitam. Pada hakikatnya cerita Abdullah ibn Saba’ adalah satu dongengan (fiktif) semata.
Allamah Murtadha Askari telah membuktikan bahwa cerita Abdullah ibn Saba’ yang terdapat dalam beberapa kitab Ahlusunah bersumber dari Al-Tabari (w.310H/922M), Ibn Asakir (w571H/1175M), Ibn Abi Bakr (w741H/1340M) dan al-Dhahabi (w747H/1346M). Mereka semua itu sebenarnya telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba’ dari satu sumber yaitu; Sayf ibn Umar at-Tamimi dalam bukunya “al-Futuh al-kabir wa al-riddah dan al-Jamal wal-masir Aishah wa Ali”. [Murtadha Askari, Abdullah ibn Saba' wa digar afsanehaye tarikhi, Tehran, 1360 H].
Sayf adalah seorang penulis yang tidak dipercaya oleh kebanyakan penulis-penulis kitab rijal seperti Yahya ibn Mu’in (w233/847H), Abu Dawud (w275H/888M), al-Nasai (w303H/915M), Ibn Abi Hatim (w327H/938M), Ibn al-Sukn (w353H/964M), Ibn Hibban (w354H/965M), al-Daraqutni (w385H/995M), al-Hakim (w405H/1014M), al-Firuzabadi (w817H/1414M), Ibn Hajar (w852H/1448M), al-Suyuti (w911H/1505M, dan al-Safi al-Din (w923H/1517M).
Abdullah ibn Saba’, kononnya seorang Yahudi yang memeluk Islam pada zaman Uthman, dikatakan seorang pengikut Ali yang setia. Dia mengembara dari satu tempat ke satu tempat lain untuk menghasut orang banyak supaya bangun dan memberontak menentang khalifah Uthman bin Affan. Sayf menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah sebagai pengasas ajaran Sabaiyyah dan pengasas madzhab ghuluww (sesat). Menurut Allamah Askari, pribadi Abdullah ibn Saba’ ini adalah hasil rekaan Sayf yang juga telah berhasil mencipta beberapa pribadi, tempat, dan kota lain hasil khayalannya. Dari cerita Sayf inilah beberapa orang penulis telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba’ tersebut. Beberapa orang yang erpengaruh dengan kisah bohong Sayf seperti: Said ibn Abdullah ibn Abi Khalaf al-Ashari al-Qummi (w301H/913M) dalam bukunya al-Maqalat al-Firaq, al-Hasan ibn Musa al-Nawbakhti (w310H/922M) dalam bukunya Firaq al-Shiah, dan Ali ibn Ismail al-As’ari (w324H/935M) dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin.
Allamah al-Askari mengupas hakekat cerita Abdullah ibn Saba’ dari riwayat syiah dari Rijal oleh al-Kashshi. Al-Kashshi telah meriwayatkan dari sumber Sa’d ibn Abdullah al-Ashari al-Qummi yang menyebut bahawa Abdullah ibn Saba’ mempercayai kesucian Ali sehingga menganggapnya sebagai seorang nabi. Hal itu karena mengikut dua riwayat ini, Ali AS memerintahkannya menyingkirkan fahaman tersebut, dan disebabkan keengganannya itu Abdullah ibn Saba telah dihukum bakar hidup-hidup. Walau bagaimanapun menurut Sa’d ibn Abdullah, Ali telah menghalau Ibn Saba’ ke Madain dan di sana dia menetap sehingga Ali AS menemui kesyahidannya. Pada ketika itu Abdullah ibn Saba’ mengatakan: Ali AS tidak wafat, sebaliknya, ia akan kembali semula ke dunia.
Al-Kashshi, selepas meriwayatkan lima riwayat yang berkaitan dengan Abdullah ibn Saba’ menyatakan bahwa tokoh ini didakwa oleh golongan Sunni sebagai orang yang pertama yang mengumumkan tentang Imamah (kepemimpinan) Ali AS. Allamah Askari menyatakan bahwa hukuman bakar hidup-hidup adalah satu perkara bid’ah yang bertentangan dengan hukum Islam, tiada beda antara madzhab Syi’ah ataupun Sunnah.
Kisah tersebut tidak akan pernah kita jumpai dalam kitab-kitab karya tokoh-tokoh sejarah yang masyhur seperti Ibn al-Khayyat, al-Yakubi, al-Tabari, al-Masudi, Ibn Al-Athir, ibn Kathir atau Ibn Khaldun. Peranan yang dimainkan oleh Abdullah ibn Saba’ sebelum peristiwa pembunuhan Uthman atau pada zaman pemerintahan Imam Ali AS tidak pernah disebut oleh para penulis yang terdahulu seperti Ibn Sa’d (w230H/844M0, al-Baladhuri (w279H/892M) atau al-Yaqubi. Hanya al-Baladhuri yang hanya sekali saja menyebut namanya dalam buku Ansab al-Ashraf ketika meriwayatkan peristiwa pada zaman Imam Ali AS. Al-Baladuri berkata: ” Hujr ibn Adi al-Kindi, Amr ibn al-Hamiq al-Khuzai, Hibah ibn Juwayn al-Bajli al-Arani, dan Abdullah ibn Wahab al-Hamdani - ibn Saba’ datang kepada Imam Ali AS dan bertanya kepada Ali AS tentang Abu Bakar dan Umar…”. Ibn Qutaybah (w276H/889M) dalam bukunya al-Imamah wal-Siyasah dan al-Thaqafi (w284H/897M) dalam al-Gharat telah menyatakan peristiwa tersebut. Ibn Qutaybah memberikan identitas orang ini sebagai Abdullah ibn Saba’. Sa’d ibn Abdullah al-Ashari dalam bukunya al-Maqalat wal-Firaq menyebutkan namanya sebagai Abdullah ibn Saba’ pengasas ajaran Saba’iyyah - sebagai Abdullah ibn Wahb al-Rasibi. Ibn Malukah (w474H/1082M) dalam bukunya Al-Ikmal dan al-Dhahabi (w748H/1347M) dalam bukunya al-Mushtabah ketika menerangkan perkataan ‘Sabaiyyah ‘, menyebut Abdullah ibn Wahb al-Saba’i, sebagai pemimpin Khawarij. Ibn Hajar (w852H/1448M) dalam Tansir al-Mutanabbih menerangkan bahawa Saba’iyyah sebagai ‘ satu kumpulan Khawarij yang diketuai oleh Abdullah ibn Wahb al-Saba’i’. Al-Maqrizi (w848H/1444M) dalam bukunya al-Khitat menamakan tokoh khayalan Abdullah ibn Saba’ ini sebagai ‘Abdullah ibn Wahb ibn Saba’, juga dikenali sebagai Ibn al-Sawda’ al-Saba’i.’
Allamah Askari mengemukakan rasa keheranannya disaat tidak seorang pun dari para penulis tokoh Abdullah ibn Saba’ ini menyertakan nasabnya, satu perkara yang agak ganjil bagi seorang Arab yang pada zamannya memainkan peranan yang penting. Penulis sejarah Arab tidak pernah gagal menyebutkan nasab bagi kabilah-kabilah Arab yang terkemuka pada zaman awal Islam. Tetapi dalam kisah Abdullah ibn Saba’, yang dikatakan berasal dari San’a Yaman, tidak dinyatakan kabilahnya. Allamah Askari yakin bahawa Ibn Saba’ dan golongan Sabai’yyah adalah satu cerita khayalan dari Sayf ibn Umar yang ternyata turut menulis cerita-cerita khayalan lain dalam bukunya. Walau bagaimanapun, nama Abdullah ibn Wahb ibn Rasib ibn Malik ibn Midan ibn Malik ibn Nasr al-Azd ibn Ghawth ibn Nubatah in Malik ibn Zayd ibn Kahlan ibn Saba’, seorang Rasibi, Azdi dan Saba’i adalah pemimpin Khawarij yang terbunuh dalam Peperangan Nahrawan ketika menentang Imam Ali AS.
Nampaknya kisah tokoh Khawarij ini telah diambil oleh penulis kisah khayalan itu (Sayf bin Umar at-Tamimi) untuk melukiskan pribadi khayalan yang menjadi orang pertama menyebarkan Imamah Ali AS. Nama pribadi ini tiba-tiba muncul untuk memimpin pemberontakan terhadap khalifah Uthman, menjadi dalang mencetuskan Perang Jamal, menyebarkan kesucian Ali AS, kemudian dibakar hidup-hidup oleh Ali AS atau dihalau oleh Ali AS dan tinggal dalam buangan, selepas wafat Imam Ali AS. Abdullah bin Saba’ dinyatakan sebagai penyebar ajaran kesucian Ali AS, dan Ali tidak mati melainkan akan hidup kembali. Ia digambarkan sebagai pribadi yang paling vokal dan lantang di hadapan musuh-musuh Ali AS.
Menurut Allamah Askari, perkataan Saba’iyyah adalah berasal-usul sebagai satu istilah umum untuk kabilah dari bahagian selatan Semenanjung Tanah Arab iaitu Bani Qahtan dari Yaman. Kemudian disebabkan banyak daripada pengikut-pengikut Imam Ali bin Abi Talib AS berasal dari Yaman seperti Ammar ibn Yasir, Malik al-Ashtar, Kumayl ibn Ziyad, Hujr ibn Adi, Adi ibn Hatim, Qays ibn Sa’d ibn Ubadah, Khuzaymah ibn Thabit, Sahl ibn Hunayf, Uthman ibn Hunayf, Amr ibn Hamiq, Sulayman ibn Surad, Abdullah Badil, maka istilah tersebut ditujukan kepada para penyokong Ali AS ini. Justru Ziyad ibn Abihi pada suatu ketika mendakwa Hujr dan teman-temannya sebagai ‘Saba’iyyah.’ Dengan bertukarnya maksud istilah, maka istilah itu juga turut ditujukan kepada Mukhtar dan penyokong-penyokongnya yang juga terdiri dari kelompok-kelompok yang berasal dari Yaman. Selepas runtuhnya Bani Umayyah, istilah Saba’iyyah telah disebut dalam ucapan Abu al-Abbas Al-Saffah, khalifah pertama Bani Abbasiyyah, ditujukan kepada golongan Syi’ah yang mempersoalkan hak Bani Abbas sebagai khalifah.
Walau bagaimanapun Ziyad maupun Al-Saffah tidak mengaitkan Saba’iyyah sebagai golongan yang sesat. Malahan Ziyad gagal mendakwa bahwa Hujr bin Adi dan teman-temannya sebagai golongan sesat. Istilah Saba’iyyah diberikan maksudnya yang baru oleh Sayf ibn Umar pada pertengahan kedua tahun Hijrah yang menggunakannya untuk ditujukan kepada golongan sesat yang kononnya diasaskan oleh tokoh khayalan Abdullah ibn Saba’.
WAHAI UMAT MUHAMMAD,JANGAN SALING MEGOBARKAN FITNAH !! SUNNAH-SYI'AH BERSATULAH !!!
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
Oleh:
Al-Marhum Al-Ustadz Husein Al-Habsyi
PENDAHULUAN
Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi
dengan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta
(UII) di Solo.
Dalam dialog tersebut para mahasiswa mena nyakan beberapa masalah tentang Madzhab
Syi’ah Imamiyah, antara lain:
1. Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?
2. Bagaimana Pendirian Madzhab Syi’ah tentang sahabat Nabi Saww?
3. Benarkah Syi ‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak
sah?
4. Benarkah Syi ‘ah itu meragukan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan
bahkan tidak menggunakannya? Apakah dengan membuang Had its-hadits riwayat Abu
Hurairah, Islam ini akan lenyap? Dan bagaimana akhirnya nanti?
5. Mohon penjelasan tentang Hadits Tsaqalain (Qur’an wa Sunnati) atau Qur’an wa Itrahi
AhIi Baiti mana yang lebih shahih?
6. Kalau Sunnah pada zaman Nabi ternyata tidak dibukukan, tetapi mengapa sampai juga
kepada kita dan dipakai oleh kita Ahlussunnah. Kemudian apakah mung kin di zaman itu
ada pemalsu-pemalsu Hadits?
7. Apakah Itrah itu? Apakah yang dimaksud ltrah itu sampai keturunan Rasulullah
SAWW yang sekarang ini atau mungkin ada batasannya?
8. Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum dan her kaitan
dengan peristiwa apa?
9. Benarkah tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat Al Qur’an dan
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
2
melakukan perubahan-perubahan?
10. Mengapa Syi’ah Imainiyah kalau Shalat hanya tiga waktu?
11. Bagaimapa menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Raj’ah?
12. Mungkin Ustadz tahu apa sebenarnya makna Rafidhah?
Dalam jawabannya terhadap pertanyaan me reka, Ustadz Husein menggunakan pendapat
Ahlus sunnah, dengan maksud agar serangan-serangan (tuduhan-tuduhan) yang
dilemparkan kepada Madzhab Syi’ah lmamiyah dapat dihentikan karena kedua Madzhab
itu tidak berbeda dalam masalah-masalah pokok.
Semoga risalah kecil yang kami kutip dari kaset tanya jawab Ustadz Husein dengan para
mahasiswa ini, dengan kami tambahkan catatan kaki dan setelah kami tanyakan kepada
Ustadz sebagai sumber rujukan, maka dapat menambah wawasan pengetahuan kita, agar
kita tidak mudah memvonis saudara-saudara kita sesama muslim secara in-absentia dan
teks-book thingking kita.
Sunnah-Syi’ah dalam dialog antara
Mahasiswa UGM, UII Yogyakarta dengan Ustadz Hussein Al-Habsyi
Mahasiswa:Ustadz Husein yang terhormat, kedatangan kami ini bertujuan untuk
silaturahmi. Kami rombongan mahasiswa dan Yogya, sebagian kami ini dan Universitas
Islam Indonesia dan ada juga dan Universitas Gajah Mada. Kami banyak mendengar
tentang Mazhab Syi’ah dan beberapa Ulama yang pernah kami datangi. Tetapi kami
belum merasa puas karena masih ada beberapa jawaban yang kurang tepat menurut kami.
Sekarang kami ininta agar Ustadz menjelaskan masalah Madzhab Syi’ah ini, dan kami
telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang kami anggap perlu.
Ustadz Husein: Saudara-saudara mahasiswa dan Yogya, Assalamu’alaikum
Warahmatullahi wabarakatuhu. Saya bahagia atas kedatangan saudara-saudara kepada
saya, apalagi dengan tujuan yang baik yaitu silaturrahim. Saya bersyukur kehadirat Allah
karena saudara-saudara masih mempunyai keinginan untuk mengetahui Sebuah Madzhab,
yang selama ini di Indonesia tidak terkenal. Tetapi kemudian setelah dikenal banyak
fitnah yang ditujukan kepada MadZhab ini. Namun sayang saudara-saudara, sebab saya
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
3
sendiri bukan Syi’ah. Jadi sebenarnya lebih tepat bila saudara-saudara terus menanyakan
pertanyaan-pertanyaan ini kepada yang menyatakan bahwa dirinya memang orang Syi’ah.
Pertama: “Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Mahasiswa:“Walaupun Ustadz bukan seorang Syi’ah tetap kami rasa paling tidak Ustadz
telah membaca tentang Madzhab ini. Jadi kami rasa tidak salah bila kami bertanya
kepada Ustadz. Dan sebaiknya kami langsung saja bertanya. Pertanyaan kami yang
pertama adalah:
“Benarkah Syi ‘ah itu Kafir?”
Ustadz Husein: Baiklah saudara-saudara, saya akan menerima desakan saudara agar
saya menjawab pertanyaan saudara-saudara Insya Allah, namun sebaiknya dalam majelis
ini kita hindarkan perdebatan.” Saya sangat tidak setuju bila majelis seperti ini yang
sedianya bermaksud mencari ilmu, mendengar sesuatu yang bisa menambah ilmu,
kemudian berbalik menjadi majelis perdebatan, scdangkan perdebatan itu hanya akan
membawa permusuhan. Jadi kalau itu terjadi, maka hilanglah maksud yang baik dan
majelis ini.
Saudara-saudara yang terhormat:
Menjawab pertanyaan saudara ini saya kira mengkafirkan sesama muslim, bukan saja
tidak dibenarkan oleh syariat Nabi Muhammad Saww tetapi juga tidak pantas dan juga
tidak menguntungkan baik dipihak Syi’ah maupun Ahlus Sunnah, bahkan bisa
melemahkan keduanya. Siapa di antara kita kaum muslimin -- apalagi saudara mahasiswa
ini -- yang belum mendengar tentang Kristenisasi yang galak dan dahsyat seperti seka
rang ini. Mereka sebelum ini sudah bersatu dan segala aliran; Katolik, Protestan, Advent,
ditambah dengan kaum musyrikin, Zionis dan Yahudi, mereka semua sudah bersatu,
sedangkan kaum Nasrani bergabung dakm satu dewan gereja. Padahal mereka tidak
punya ayat yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya umatmu ini adalah ummat yang satu dan Kami adalah Tuhanmu,
maka sembahlah Kami.” (Q.S.21: 92).
Mereka tidak pernah dipersatukan dengan injil mereka atau Taurah mereka, tampaknya
mereka dalam taktik mencapai target mengkristenkan kita, memurtadkan kita, maka
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
4
bersatulah mereka untuk inenghadapi kita. Menurut informasi yang saya terima, ribuan
sekolah dasar. Sekarang murid-muridnya dibiayai oleh kaum inissionaris (kaum Nasrani),
tentunya dengan maksud-maksud tak asing lagi bagi kita. Jadi gereja menginginkan agar
mereka itu merasa berhutang budi kepada Nasrani kemudian mudah ditarik oleh mereka
ke Gereja. Karena itu mereka mencapai kemajuan yang pesat di tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan kita -- maaf -- secara tidak sadar membantu mereka mengeluarkan saudara
saudara dan generasi kita yang sekarang ini dan ummat dan agama Islam. Jadi mereka
akan lebih mudah mengkristenkan kita, sedangkan kita mengkafirkan saudara kita sendiri.
Adakah fanatisme yang lebih berat daripada ini?
Kita sekarang ini tidak perlu Syi‘ah atau Sunnah menjadi bahan gaduh di antara kita,
kaum muslimin. Kita perlu Islam yang bersumber kan Al-Qur’an dan Al-h’adits
diterapkan pada diri kita.
Kita memerlukan ukhuwah, memerlukan pengumpulan dana dan seluruh masyarakat dan
organisasi Islam untuk menebus jutaan pemuda muslim yang sekarang di ambang pintu
Nasrani untuk dikristenkan.
Untuk menyelamatkan mereka, barangkali kita perlu mengurangi belanja rumah tangga
dan uang jajan anak-anak kita. Dan gadis-gadis serta wanita kita, harus mengurangi
segala macam kelebihan benda-benda yang tidak diperlukan se perti alat-alat make-up
dan sebagainya, karena uang itu nanti akan kita sumbangkan kepada penduduk yang
iniskin di antara kaum muslimin yang sekarang dipegang oleh gereja dengan maksudmaksud
seperti itu.
Sekarang kita membuang uang untuk mencetak buku-buku, membagikan buku-buku
secara gratis yang hanya isinya caci-maki, tuduh-menu duh dan kafir-mengkafirkan.
Sehingga uang ratusan juta di Indonesia ini kita habiskan hanya untuk
membumihanguskan rumah tangga kita sendiri. Apakab tindakan sepérti ini cocok
dengan syariat, sesuai dengan akal sehat, pantas dengan waktu seperti sekarang dan
sejalan dengan politik perjuangan dewasa ini? Biasanya tindakan-tindakan semacam itu
diilhami oleh wawasan yang sempit, fanatisme yang bergejolak di dada, atau kesempitan
akhlaq dan kedengkian yang mendalam terhadap sesama muslim.
Paling tidak itu hanya intrik dan zionisme atau salibisme internasional. Kita
(Ahlussunnah) mengkafirkan Syi ‘ah Imamiyah berdalilkan teks books kita dan secara
subyektif serta in-absentia. ini salah satu dan wawasan yang sempit, sebab kita tidak
berhadapan dengan mereka secara langsung. Belum pernah kita mengadakan diskusi
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
5
bersifat final antara Ulama Syi ‘ah dan Ulama kita. Kita mencaci mereka dengan
menggunakan dalil buku-buku orientalis, itu juga menunjukkan wawasan yang sempit.
Kita kafirkan mereka berdasarkan caci-maki, ejekan dan segala macam kebohongan, itu
juga merupakan akhlaq yang sempit.
Orang yang berwawasan sempit akan mengatakan, bahwa kita (Ahlus sunnah) ini juga
melakukan tahrif, seperti kita mengatakan bahwa Syi’ah melakukan tahrif dan begitu
seterusnya. Saya kira hal ini perlu saudara-saudara camkan sebelum majelis ini akan kita
lanjutkan nanti.
Kedua: Bagaimana Pendirian Mazhab Syi’ah Tentang Sahabat Nabi?
Mahasiswa: Ustadz Husein yang terhormat, terima kasih atas keterangan yang
diisampaikan kepada kami. Sebelum kami melanjutkan pertanyaan yang kedua, kami
ingin kembali dengan jawaban Ustadz Husein yang pertama tadi, yakni Ustadz Husein
menyatakan bahwa kita tidak perlu saling mengkafirkan di antara kaum muslimin.
Namun kami sering mendengar bahwa orang-orang yang berfaham Syi ‘ah sering
mengkafirkan Sahabat Nabi Saww. Kalau itu tidak benar, kami ingin menanyakan kepada
Ustadz: “Bagaimana sebenarnya pendirian orang Syi ‘ah terhadap para Sahabat Nabi
Saww?
Ustadz Husein: Dalam masalah ini, sebenar nya dua Madzhab ini mempunyal dua
pendapat dan dua pendirian masing-masing. Kalau Madzhab Syi’ah itu, membagi para
Sahabat Nabi menjadi tiga bagian sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab mereka
antara lain sebagai berikut1:
Bagian pertama:
Adalah sebagian sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasulullah Saww, tidak
pernah melanggar dan tidak pernah membantahi dsb. Antara lain yang disebut-sebut oleh
Syi’ah ialah nama-nama: Ammar, Al-Asytar, Abu Dzar, Salman, Jabir bin Abdillah, dsb.
Begitulah menurut mereka.
1 Kitab Taumma Tadaitu, Kit.b Al-Milal Wan Nihal oleh Ja far Subbani Juz 1.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
6
Bagian kedua:
Ialah sahabat-sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan
kesetiaannya kepada Rasulullah Saww. Dan perbuatan-perbuatan mereka itu disebutkan
serta ditulis di dalam kitab-kitab standard hadits kita seperti, Bukhari, Muslim dls. Syi’ah
pun mempunyai jalur yang meriwayatkan hal seperti itu, kemudian Syi ‘ah berpegangan
bahwa mereka itu (sahabat) dalam pembagian kedua ini memang masih harus diseleksi
dan diragukan.
Bagian ketiga:
Yaitu sahabat yang dianggap munafiq, orang-orang seperti ini masuk dalam batas kufur.
Yang menyatakan adanya munafiq dan kalangan sahabat itu adalah Nabi sendiri. Di
dalam Hadits-hadits yang diriwayatkan Bukhari yang di antaranya menyatakan:
“Bahwa kelak dihari kiamat beliau Saww berada d Haudh, tiba-tiba datang para Sahabat
lalu mereka mau ininum, Rasul mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari
Rasul, Rasul bertanya: “Engkau tidak tahu wahai Muhammad, apa yang telah mere/ca
lakukan serelah engkau wafat.”2
Juga dalam A1-Qur’an disebutkan:
“Di antara orang-orang Arab Badul yang d sekelilingmu itu ada orang-orang munafik;
dan (juga) dl antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.
Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka.
Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada
azab yang besar.” (Q.S.9: 101)
Ayat-ayat dan Hadits-hadits seperti ini banyak, dan oleh kaum Syi’ah Imamiyah hal itu
dijadikan pegangan dan mereka tidak akan meninggalkan, karena mereka menganggap
itu juga nash, mereka tidak boleh mempunyai pendapat di samping nash.
Adapun kalangan kita Ahlussunnah, menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali ada
lah “Udul” artinya orang yang bisa dipercaya. Orang-orang baik, setidak-tidaknya mereka
pernah melihat wajah Nabi Saww dan pernah ada di sekitar Nabi, itu baik dan itu
pendapat. Ya. . .agar tidak terlalu banyak hal yang akan menimbulkan pertanyaan,
pokoknya semua baik, sudah. Jadi kalau ada satu riwayat tentang kesalahan yang jelas di
2 Bukhari, Kitabul Fitan Bab 1 dan 2.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
7
kalangan para sahabat itu, kita Ahlussunnah menganggapnya itu adalah ijtihad sahabat.
Kemudian Kita ta ‘wilkan dan tafsirkan sampai akhirnya mereka dianggap mendapat pa
hala (sebagai orang yang mendapatkan fadhilah), dapat ganjaran. inisalnya sahabat
membunuh sahabat.
Muawiyah memerangi Ali sampai beberapa belas ribu orang sahabat gugur. Kita
mengatakan Muawiyah itu berijtihad dan ijtihadnya itu sampai memerangi Ali bin Abi
Thalib, dan kita mempunyal kaidah ushul:
Apabila hakim berjjtihad, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat
satu pahala.3
Jadi minimal Muawiyah bin Abi Sufyan mendapat satu pahala. Begitulah sikap kita
Ahlul-sunnah terhadap para sahabat. Tentu masing-masing Madzhab mempunyai
pendirian sendiri dalam beberapa masalah, dan kita yang berpendirian seperti ini
seharusnya menghormati pendirian orang lain.
Kalau Syi ‘ah mengkafirkan orang-orang munafik, kita tidak boleh mengkafirkan mereka,
karena mereka hanya mengkafirkan sebagian sahabat yang munafik yang telah dijelaskan
di dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadlts. Mereka.punya dasar dan alasan, - setidaknya
mereka berijtihad dan berdasarkan nash yang ada pada kita juga, jadi tidak boleh kita
salahkan begitu saja. Kita boleh menerima atau tidak menerima pendapat itu. Kalau kita
tidak menerima pendirian mereka ini maka kita kembali kepada pendirian kita, Iaitu
semua sahabat itu “Udul” tanpa kecuali. inilah pendapat saya tentang masalah kedua ini.
Jadi masalah ini kita serahkan kepada pendirian kita sendiri dan bagaimana akal serta
logika kita mengkaji masalah-masalah seperti ini. Kalau Syi’ah kita anggap
mengkafirkan sebagian dan para saliabat lalu kita vonis mereka ini kafir ma ka hal ini
tidak benar. Sebab kita mesti tahu de ngan alasan apa mereka mengkafirkan itu? Kalau
alasannya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits maka itu adalah fi’ak mereka dan kalau
kita tidak sependapat dengan itu, maka itu adalah hak kita.
Mahasiswa: Setelah mendengar keterangan dan Ustadz, kami jadi ingin bertanya lebih
jauh. Jika demikian, apa bedanya pendirian Syi’ah dan Ahlussunnah mengenai sahabat?
Ustadz Husein: Tadi sudah saya jawab bahawa perbedaan kita dengan mereka ialah
3 Bukhari, Kitabul I’tishom bil-kitabi wasunnah Ksb ajrul hakim izajtahada fa ashoba Ali ahto’a
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
8
bahwa Imamiyyah mengatakan, sahabat itu dibagi menjadi tiga kelompok (ditinjau dan
sudut keimanan mereka). Yang paling tinggi di antara mereka adalah para sahabat yang
tidak pernah berbuat sesuatu yang tercela dan mereka tidak pemah berbuat salah. Yang
kedua adalah mereka yang pernah membuat kesalahan sebagaimana yang telah saya
sebutkan tadi yakni sahabat membunuh sahabat, sahabat mencerca sahabat dsb. Yang ke
tiga yaitu sahabat yang munafik dan sifat mereka yang munafik ini sudah jelas tampak.
Namun sikap kita Ahlussunnah menganggap bahwa semua sahabat itu “Udul”. Kalau
sekiranya ada perbuatan yang menyimpang maka kita ta ‘wilkan, sehingga kadangkadang
terus saja saya ingin menegaskan ta ‘wil kita itu bertentangan dengan nash. Jadi
seakan-akan kita mengatakan bahwa syariat Islam ini tidak berlaku atas sahabat, dan ini
tidak pernah dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah Saww. Rasulullah sendiri pernah
bersabda:
‘Andaikata Fatimah binti Muhammad AS mencuri, niscaya akan aku potong tangannya’.4
Jadi, Fatimah yang merupakan sepenggal dari badan Nabi dan yang paling dicintai di
dunia ini di antara manusia-manusia yang hidup, andaikan beliau tercinta itu mencuri,
maka Nabi akan memotong tangannya! Maka saya kira sahabat yang lain pun tidak
berhak untuk mendapat kekebalan hukum atau kita menta ‘wilkannya.
Ketiga: Pertanyaan kami: “Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khalifah Abu
Bakar, Umar dan Utsman itu tidak sah?”
Mahasiswa: Kami masih ingin menanyakan tentang satu masalah, dan masih sekitar
masalah sahabat cuma kami lebih menyempitkan permasalahan ini. Pertanyaan kami:
“Benarkah Syi‘ah berpendapat bahwa Khaltfah Abu Bakar, Umar dan Utsman itu tidak
sah?”
Ustadz Husein: Dalam masalah ini dua Madzhab ini mempunyai dua pendapat dan dua
pendirian. Dua pendirian itu tidak bisa dikompromikan sebab konsekwensinya seseorang
yang memegang pendirian harus tetap dan teguh atas dali-dalil yang diyakininya.
Sekarang kita mendapati ada dua golongan. Satu golongan yang meyakini bahwa Nabi
Saww dalam beberapa Hadits menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin setelah
4 Muslim, Kitabul Hudud bab Qoth’i Yadia Sariq
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
9
Beliau, misalnya Hadith Ghadir yang berbunyi:
“Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpilnnya maka Ali juga pemimpinnya.5
Dan Hadits Tsaqalain yang berbunyi:
Aku :Tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, yaitu Al-Qur ‘an dan Itrah Ahli
Baitku. Kalau kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat.”6
Kemudian Hadits Manzilah ketika menjelang perang Tabuk:
“Kedudukan engkau dan aku sebagaimana kedudukan Harun dan Musa, hanya saja tidak
ada Nabi setelah aku.”7
Dan masih banyak lagi Hadits yang seperti itu yang jelas dan tidak bisa diragukan lagi
bahwa Nabi Saww menunjuk Ali dengan perintah Allah menjadi Khalifah setelah Beliau.
Jadi Nabi dengan tegas mengatakan sesudah Beliau hanya Ali sebagai penerusnya. Jika
ada orang lain menjabat itu maka menurut Syi’ah jabatan itu tidak sah. Sebab mungkin
seperti seorang gubernur yang menjabat sebuah propinsi karena desakan orang-orang
disekitarnya tanpa dia menerima surat keputusan dari presiden maka hal itu tentunya
tidak dianggap sah. Masalah ini menurut Syi’ah adalah masalah yang prinsip. Sebab
Imamah menurut mereka merupakan masalah yang sangat mendasar.
Kita -- Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti itu. Kita mengatakan bahwa Nabi tidak
meninggalkan pesan apapun, 8 sehingga untuk mengangkat pemimpin, sahabat
5 Turmudzy, Juz 2 hal. 298, Musnad Abmad, Juz I hal. 119, 152, Juz 4 hal. 368, 372, Juz 5 hal. 118, 330,
336, Mustadrak Al Hakim Juz 2 hal. 129, Juz 3 hal. 109, 110, 116, 371, Durul Mansur (Suyuthi) dalam
tafsir surat Al-Ahzab ayat 6. Hadits ini diriwayatkan oleh 110 Sahabat, 84 Tsbiln, 360 Ulama Ahlus
Sunnah. (A1-Ghadir Juz I hal. 14 .sampai 151).
6 Muslim, Kitab Fadhoilussahabah Bab Fadhoil Ali, Turmudzy Juz 2 hal. 308, Mustadrak Al-Hakim Juz 3
hal. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3 hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali.
7 Bukhari, Kitab Badulkholk Bab Manaqib All, Muslim, Kitab Fadhoil Sohabat Bab Fadhoil All, Turmudzy
Juz 2 hal. 301. Mustadrak Al-Hakim Ju 2 hal. 337, Nasal dalam bukunya Khosois Imam Ali meriwayatkan
hadits ini dan 20 jalur.
8 Lihat Tarikh Al-Khulafa (Suyuthi) hal. 5-10, Murujuzzahab 2/330.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
10
menjalankannya dengan musyawarah di antara mereka. Dan syuroh itu memilih Abu
Bakar sebagai Khalifah pertama.9 Kemudian oleh beliau jabatan selanjutnya diserahkan
kepada Umar Ra sebagai Khalifah kedua, menjelang wafat, Umar menunjuk 6 orang
untuk memilih seorang Khalifah. Kemudian Utsman menjadi Khalifah ketiga,10 di antara
4 Khalifah ini menurut sejarah kita Ahlussunnah hanya Ali saja yang dipilih secara
aklamasi oleh seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali. Jadi pemilihan empat Khalifah itu
dilakukan dengan empat macam cara.
Hal ini oleh kaum muslimin sekarang khususnya Ahlus Sunnah merupakan cara yang
wajar dan cukup memadai serta tidak salah. DengAn demikian kita menganggap ketiga
Khalifah itu adalah sah, sedang Syi’ah tidak demikian. Mereka menginginkan Khalifah
yang ditunjuk oleh Rasulullah Saww.
Sedangkan kita seakan-akan tidak membenarkan adanya penunjukan. Padahal sebenarnya
kalau kita sabar meneliti dan membaca Hadits hadits sehubungan dengan itu, kita akan
tahu bahwa sebagian dan sahabat waktu itu mengakui adanya penunjukan. Di antaranya
terbukti ketika mereka berkumpul di tempat bernama Ghadir Khum, Nabi mengangkat
Ali sebagai wali sesudah beliau, maka Sayyidina Umar diriwayatkan datang kepada Ali
dan menjabat tangan beliau sambil mengatakan:
“Selamat wahai putera Abu Thalib! Engkau hari ini menjadi wali tiap mu ‘min.”11
Bila demikian Hadits yang diucapkan oleh Nabi di Ghadir Khum, saya kira tidak bisa
disalahkan, jadi memang betul Hadith dan kejadian itu memang ada, namun sebagian dan
kita mengatakan tidak demikian.’ 12 Oleh karena itu mereka kembali kepada syuro
9 Tankh A1-Khulafa 27-77, Al-Kamali Fitarikh 2/291-292
10 Al-Kamil Fittarikh Juz 3 hal. 34-37
11 Tafsir Fahrurrozi dalam tafsiran ayat 67 Surat Al-Maidah Kitab inisykatul Mashobi’ Hadita No. 6094
jilid 3. Ucapan serupa juga disampaikan ot Bakar dan Sa’ad bin Abi Waqas, lihat Musnad Imam Ahmad
4/218 dan sahabat Al-Barra bin Azib. Tafsir Al-Kabir oleh Fahrurrozi Tarikh Bagdad oleh Al-Khatib Al
Baghdadi 8/290. Faidhul Ghadir fi Syarhi Jami’ua shagir Juz 6/217. Dakhoirul Uqbah hal. 68 Arriyadhu
Annadhiro Iuz 2 hal. 170 keduanya oleh Al-Muhib Atthabari dan juga dikutip oleh Hajar Al-Haitami dalam
bukunya Ashowaiq AI-Muhriiqoh. Cerita pengucapan selamat yang disampaikan oleh Abu Bakar dan
Umar kepada Imam Ali tercatat dalam 60 buku standar Ahlus Sunnah. Lihat Al-Ghadir Juz I hal. 272-283.
12 iumhur Ahlu. Sunnah meyakini adanya peristiwa tersebut tetapi mempunyai penafsiran yang lain.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
11
(musyawarah).
Menurut Syi ‘ah Imamiyah, syuro semacam itu tidak memenuhi syarat sebab sahabatsahabat
yang berjumlah sekitar 100 ribu orang itu, yang ada di kota Madinah paling tidak
sejumlah 2000 orang dan dan jumlah itu yang hadir dalam musyawarah pengangkatan
Abu Bakar paling banyak 100 orang. Bahkan dan 100 orang itu tidak semuanya sepakat,
tidak kalamasi dan di antara mereka ada yang mengatakan: ininna Amir Wa ininkum
Amir (Dari kami harus ada pemimpin dan dari kalian angkatlah pemimpin sendiri.
Sehingga hampir-hampir terjadi tindakan kekerasan hingga Sayyidina Umar Ra berkata:
“Bunuhlah Sa ‘ad bin Ubadah pemimpin Anshar itu!.”13
Dengan demikian tidak cukup memadai untuk syuro itu. Kemudian dikatakan pula syuro
tersebut tidak rnemadai karena ahli-ahli syuro dari Bani Hasyim, seperti Ali, Abbas dsb
tidak ada yang hadir dan kaum Anshar pun tidak semua nya hadir karena tidak tahu.14
Katena itu Umar pada akhirnya berkata: Bai‘at Abu Bakar itu adalah sesuatu yang
Faltah” 15(secara tergesa-gesa) yang Alhamdulil lah Allah menyelamatkan kita dari akibat
buruk nya. Jadi tampaknya seperti diatur supaya cepat, sebab kalau semua sahabat hadir
mungkin pemilihannya tidak seperti apa yang terjadi itu. Begitulah pendapat Syi ‘ah.
Keempat: Benarkah Syi’ah meragukan Hadith Abu Hurairah dan bahkah tidak
memakainya?
Mahasiswa: Sekarang kami lebih merasa puas dengan penjelasan Ustadz kami ingin
Sebagian Ahlu Sunnah mengatakan peristiwa itu adalah palsu yang dikutip dan Kitab Assunnah
Wamakanatuha Fitasyrik Al-Islami hal. 132, oleh Mustafa Syibai
13 Tarikhul Umam Walmuluk oleh Thabari Juz 3 hal. 210.
14 Mereka sedang sibuk menyiapkan untuk pemakaman RaeuluIlah Saww. Lihat Ar-
Saqifah Wal Khilafah oleh Abdul Fatah Abdul Maqsud hal.114-115.
15 Bukhari, Kitabul Muharibin inin Ahlikufri warriddah Bab Rojmul Hubia Juz 4 hal. 179. Tarikh Thabari
pada kejadian th. 11 H. Dan Syarh Nahjul Balaghah oleh Ibnu Abil Hadid Juz. 1 hal 122.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
12
bertanya tentang Abu Hurairah. Kita sama tahu bahwa sekarang ini Abu Hurairah sedang
diteliti kembali. Pertanyaan kami: Apakah benar Syi ‘ah Imamiyah ini meragukan Hadits
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan bahkan tidak memakainya? Apakah
dengan membuang Hadits-hadlts riwayat Abu Hurairah, Islam ini tidak lenyap? Dan
bagaimana akhirnya?
Ustadz Husein: Tentang Abu Hurairah, kaum Imamiyah mempunyai jalur riwayatriwayat
beliau, sejarah atau biografi beliau. Dan hal ini telah diungkapkan oleh kedua
belah pihak bahkan kita memiliki juga riwayat-riwayat tentang Abu Hurairah di dalam
kitab-kitab Al-Isti ‘ab karya Ibnu Abdil Bar, Al-Ishobahnya oleh Ibnu Hajar dll. Juga
beberapa kitab tarikh meriwayatkan juga tentang Abu Hurairah ini secara rinci.
Kesimpulannya, sahabat ini oleh Ahlul Sunnah juga termasuk orang yang diragukan.
Namun sebagaimana yang telah saya katakan tadi, bahwa pendirian kita Ahlul Sunnah
menganggap semua sahabat Nabi itu “ Udhul”. Dengan demikian, maka Abu Hurairah
juga diusahakan untuk diberi “excuse” sehingga kita tnengatakan bahwa Abu Hurairah
ini harus kita percayai karena Hadits-hadits yang diriwayatkannya banyak sekali.
Dia meriwayatkan mungkin lebih dan 5000 buah Hadits. Adapun pertanyaan anda:
Apakah hal ini tidak sampai mengurangi syariat?
Jawabannya saya kira tidak, sebab Hadits hadlts yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
juga diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain dan diriwayatkan pula melalui jalurjalur
Imamiyah secara khusus. Jadi bukan Abu Hurairah saja yang meriwayatkannya
tetapi juga sahabat-sahabat lain.
Misalnya saja tentang Bab Wudhu atau Bab Tayamum Abu Hurairah meriwayatkan,
sahabat-sahabat lain yang dipercaya oleh Jmamiyah juga meriwayatkan, Demikian juga
sahabat-sahabat selain Abu Hurairah yang dianggap semua nya “Udul” oleh Ahlussunnah
juga meriwayat kan, dan tidak mesti dan jalur Abu Hurairah saja. Juga Abu Hurairah ini
oleh Syi ‘ah dianggap sebagai perawi yang suka menambah.
Yakni menguatkan pendirian Nabi dengan pendirian beliau sendiri inisalnya Hadits yang
berbunyi:
“Ummatku di hari kiamat nanti akan dlbangkitkan oleh Allah dalam keadaan wajah,
kedua tangan dan kakinya serta tempat-tempat yang terkena air wudhu akan bersinar.”16
16 Bukhari, Kitab Wudhu Bab Fadhlul wudhu wal qhurul muhajjalin.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
13
Kemudian Hadits ini ada tambahannya:
“Barangsiapa yang bisa menambah selain dan itu maka lakukanlah.”
Jadi menambah batas wudhu bukan hanya batas siku tetapi ditambah hingga ke pangkal
lengan karena tambahan itu nanti menyala juga di hari kiamat: Ketika Abu Hurairah
ditanya tentang hal ini, ia menjawab bahwa yang terakhir tambahan itu bukan dan Nabi
tetapi dan Abu Hurairah sendiri. Ahlussunnah meriwayatkan dan menerima seperti itu,
sedang kaum Syi’ah tidak menerima hal itu. Sebab menurut mereka, kita tidak boleh
menambah sabda Nabi. Jadi apa yang dibawa oleh Rasul sebagaimana ayat yang
mengatakan …sampaikan apa yang diturunkan kepadamu. . . kita juga menyampaikan
apa yang dibawa oleh Rasul tanpa kita tambah, walaupun mungkin niat Abu Hurairah
baik, yang maksudnya menambah agar tidak sampai persis dan juga untuk hati-hati (lil
ihtiyat) jangan sampai ngepas.
Tetapi Syi’ah tidak bisa menerima hal yang Seperti ini. Syi’ah itu bermaksud
menghendaki ketegasan dan kejelasan dan mengatakan ini tidak betul dan kami tidak mau
tambahan ini. Karena itu mereka mengatakan bahwa Hadits riwayat Abu Hurairah di atas
ini adalah tambahan.
Dan ada lagi di dalam Hadits Bukhari, ketika Abu Hurairah ditanya -- di dalam Bab Nafa
qah -- apakah ini dan sabda Nabi? Dia menja wab tidak, ini dan kantong Abu Hurairah.
Menurut Imamiyah, hal ini fatal. Dalam hal-hal seperti ini Syi’ah tidak bisa menerima.
Bukan hanya orang-orang lmamiyah saja yang tidak percaya dengan Abu Hurairah
bahkan Sayyidina Umar bin Khattab sendiri pernah meragukannya. Ketika Abu Hurairah
dipanggil dari Bahrain oleh Khalifah Umar, ia datang sambil membawa oleh-oleh berupa
barang dan harta benda, kemudian ditanya oleh Sayyidina Umar:
“Apa ini semua? Dia menjawab: ini kuda-kuda saya yang beranak dan ini hadiah-hadiah
dari orang-orang itu.” Umar bin Khattab menolaknya: Tidak, semua ini harus kau
kembalikan ke Baitul Mal. Ia menjawab lagi: Wahai! Amirul Mu’minin, ini hadiah! Kata
Amirul Mu’minin:
Kalau kau tidak memegang jabatan itu dan kau tinggal di rumah tanggamu, apa ada
kiranya orang-orang yang memberi kamu hadiah? Kembalikan semuanya ke Baitul Mal!
Abu Hurairah bersikeras: Saya akan mewakafkannya. Umar marah, Kembalikan ke
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
14
Baitul Mal sebelum aku pukul engkau. Kamu boleh mewakafkan sesuatu yang datang
dari ayahmu atau dan warisan ayahmu, tetapi ini adalah hak kaum muslimin dan kamu
harus mengembalikannya kepada mereka.17
Hadits-hadits dan riwayat-riwayat semacam ini kita yang meriwayatkan. Kita tidak boleh
menyalahkan Syi’ah, kita tidak boleh gegabah, bukankah hal-hal seperti itu kita sendiri
yang meriwayatkannya? Kalau kita konsekwen menyalahkan Syi’ah, kita harus
menghapus hadits-hadits yang ada dalam Bukhari dll. Yang berkenaan dengan Abu
Hurairah ini.
Kesimpulannya, kita tidak boleh menyalahkan Ahlussunnah -- yang menganggap Abu
Hurairah itu orang yang “Udhul” dan juga tidak boleh menyalahkan Syi’ah -- karena
mereka melihat adanya riwayat yang meragukan.
Saya kira dua Madzhab ini masih ada dalam jalur yang wajar dan sehat, menurut ilmu
pengetahuan dan ijtihadnya masing-masing.
Sebagaimana kita, Syi’ah juga menghendaki segala sesuatu yang datang kepada mereka
dan para sahabat, seharusnya sudah selektif (terpilih), tidak sembarang sahabat.
Mereka tahu bahwa yang datang kepada mereka itu adalah masalah agama atau Ad-Din
yang harus dibawa oleh orang-orang yang sangat jujur, tidak sombong, tidak korupsi dls.
Maka dari itu mereka menganggap bahwa kriteria ini tidak dimiliki oleh Abu Hurairah
17 Disebabkan banyaknya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, banyak dari kalangan sahabat dan
para ulama menaruh curiga atas kebenaran riwayat-riwayat Abu Hurairah. Diriwayatkan bahwa Umar
berkata kepadanya: Wahai Abu Hurairah kau telah banyak mengobral riwayat dari Nabi, maka pantaslah
jika kau sebagai pembohong. Dirivaysikan Juga bahwa Umar mengancamnya akin mengusirnya dari
Madinah dan akan dipulangkan ke kampung halamannya, jika Ia telap masih banyak mengobral hadits Nabi
Saww din Abu Hurairah sendiri — disebabkan ancaman Umar — mengatakan: Saya tidak bisa mengatakan:
Nabi bersabda ... kecuali satelah Umar mati dalam kesempatan lain ia mengatakan: (Hari-hari ini) aku
membawakan hadits dari Nabi Saww yang sekiranya aku utarakan di zaman Umar pasti saku dipukul
dengan batang pelepah kurma. Syeikh Rasyid Ridha berkata seandainya Abu Hunairah mati sebelum Umar
maka tidak mungkin akan sampai kepada kita (tumpukan) hadits yang banyak dari Abu Hurairah. (Al-
Adhwa oleh Abu Royya hal. 174). Dan di antara mereka yang meragukan kejujuran Abu Hurairah adalah
Utaman bin Affan, Aisyah dan Imam Ali As. Imam Ali As berkata: “Paling pendustanya makhluk hidup —
atas nama Nabi -- adalah Abu Hurairah (Al-Adhwa oleh Abu Royya hal. 176-179).
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
15
sehingga kita dengan mereka berbeda dalam masalah Abu Hurairah.
Sedangkan masalah agama tidak ada hubungannya dengan masalah ini sebab haditshadits
tentang agama (hukum) diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang lain. Walaupun
umpamanya Syi‘ah meniadakan riwayat Abu Hurairah secara keseluruhan dan
meniadakan riwayat sahabat-sahabat. yang memerangi Sayyidina Ali yang akan merebut
Khalifah secara kudeta, serta mengeroyok Utsman bin Affan, kita tidak boleh kita
salahkan mereka. Sebab orang yang ingin menyalahkan Syi’ah dalam hal ini maka tidak
ada kesetiaannya terhadap ukhuwah dan kepada Islam.
Mahasiswa: Selain riwayat Abu Hurairah, riwayat-riwayat siapa lagi dan sahabat Nabi
yang tidak dipakai oleh Syi ‘ah?
Ustadz Husein: Imamiyah tidak memakai riwayat yang disampaikan oleh orang-orang
yang hadir bersama Sayyidatuna A’isyah Ra di dalam peperangan Onta untuk memerangi
Ali dan juga yang hadir di dalam peperangan Siffin bersama Muawiyah yang memerangi
Imam Ali di Siffin.
Imamiyah menganggap Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti mereka
ini adalah tidak kuat, sebab orang-orang ini melanggar perintah Rasul Saww:
‘Barangsiapa yang keluar (membatalkan) bai ‘atnya, maka apabila Ia mati, maka matinya
mati jahiliah.18”
Jadi mereka yang memerangi Ali dianggap Imamiyah sebagai orang-orang yang
kesalahan nya luar biasa (tidak dimaafkan), mereka ini hadits-haditsnya tldak dipakai.
Alhamdulillah, jalur-jalur selain mereka masih cukup sehingga syariat Islam sampai
kepada kita dan sampai pula kepada Imamiyah. Kita bisa melihat apakah mereka
kekurangan?
Kalau kita masih meragukan, bila kita tolak Hadits-hadits yang dibawa oleh Abu
Rurairah kemudian Syariat Islam akan hilang separoh? Kita lihat saja Imamiyah yang
sama sekali tidak memakai Hadits-hadits Abu Hurairah. Walaupun mereka menolak Abu
Hurairah dan sekian banyak sahabat lainnya, toh Fiqih mereka lengkap, Ushul dan
Tauhid mereka komplit. Semua ini diambil oleh mereka dari jalur para Imam mereka dan
pam sahabat yang simpati kepada Ahlul Bait.
18 Bukhari, Kitabul Fitan Rab Satarauna Ba’di Umron Tunkiruna ha dari Ibnu Abbas juz 4 hal. 222.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
16
Insya Allah di kalangan saudara-saudara yang berkecimpung di dalam bidangbidang’ilmu
pengetahuan dengan cara ilmiah tidak akan sulit meneliti Hadits-hadits yang
dibawa oleh Syi ‘ah Imamiyah dan Hadits-hadits yang ada di tangan kita. Insya Allah hal
ini tidak sukar bagi saudara apabila ada waktu untuk mempelajarinya.
Mudah-mudahan apa yang saya teràngkan tentang Abu Hurairah ini, khususnya juga
yang dlriwayatkan di dalam kitab-kitab shahih Bukhari-Muslim sebenamya membuat kita
Ahlussunnah? meragukannya, sebab beliau mengatakan - sebagaimana yang telah saya
katakan tadi -- ketika ditanya “Apakah kamu mendengar ini dari Rasulullah?” Beliau
menjawab: Tidak, -- sambil bergurau -- ini berasal dan kantong Abu Hurairah, anda bisa
melihat ini dalam Shahih Bukhari juz 7 hal. 63 di kitab Nafaqah (Bab Wujubun Nafaqah
ala Ahli wal Iyal). Dengan demikian oran bisa ragu, tetapi karena kita sudah terlanjur
mempunyai kaidah semua sahabat “Udul”, maka kita tidak bergerak dart kaidah itu, dan
hal itu tidak ada masalah, yang penting kita tidak memaksa orang lain untuk percaya pada
sistem atau cara Imamiyah dalam menanggapi sahabat seperti Abu Hurairah dan lain
sebagainya.
Juga kita tidak bo!eh mencaci atau mengkafirkan mereka kalau mereka menganut sistem
atau aliran itu. Yang penting kita harus berdiri di tengah dan memikirkan ukhuwah,
jangan sampai terpecah hanya karena masalah-masalah seperti ini.
Kelima: Hadits Qur ‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut
adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon
penjelasan?
Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait
atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut:
‘Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku,
kalau kali an berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat.
Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya
shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dan kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat
catatan kaki no. 6) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita
Ahlussunnah menganggap nya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayatkan hadits
Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
17
Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam
Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll Dan jug
di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dll.
Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa
tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja.
Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni
kitabullah wa ithrati pada hal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak, 19 tetapi hanya
“kitabullah wa sunnati” yang dipakai.
Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah “Kami meninggalkan dua hal bagi
mu, Kitab Allah dan Sunnahku, Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan
kita berpegang dengannya.
Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahawa
justru hadits -- wa sunnati -- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta
kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-
Samawi).
Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu
Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang
merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau
ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan
19 Jalur (sanad) hadits -- kiiabullah wa ithrati — mencapai 60 jalur lebih dan sudah disepakati
keshahihannya oleh Ulama-ulama Ahii Sunnah wal Jama’ah. lbnu Hajar berkata datam buku Showaiq Al
Muhriqah: Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak jalur yang datang dan 20 sahabat. Sekali
beliau SAWW mengucapkan di Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit
yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan satu sama
lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Quran dan Al-Ithrah.. Adapun
Hadits — wa sunnati -- hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga ulama di antaranya Imam Malik dalam
Muwathanya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya
dan Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk Iebih jelasnya lihat buku Hadits Tuaqalain yang diterbitkan
oleh kelompok pendekatan antar Madzhab Dar At Taqrib
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
18
sebab ada 1arangan.20
Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan
khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah
berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an
itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.
Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak
mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullàh Saww dan Al-Qur’an.
Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.21
Ja di bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.22 Tetapi. kadangkala
tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi
hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak
faham tentang cara tayammum.23 Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap
sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.
Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.24
20 Nabi bersabda,” Janganlah kalian menulis apa-apa kuucapkan selain al-Qur’an, maka ia harus
menghapuskannya.”(Sunan Ad-Darimy – Muslim – Ahmad – Turmudzy – dan Nasai – dari sahabat Nabi
Abu Sa’id al-Khudri.
21 Li Akuna Ms’shodiqin oleh: Muh. At-Tijani As-Samawi.
22 Larangan penulisan itu dianggap oleh sementara golongan sebagai suatu hal yang tidak tepat, mereka
meragukan keshahihan hadits
larangan itu, sebab telah diriwayatkan bahwa Nabi jucteru memerintahkan penulisan hadits-haditsnya dan
sahabat-sahabat pun mencatat semua yang beliau ucapkan. Bukhari meriwayatkan
maka datang seseorang diri pendudnk Yaman dan berkata: “Tuliskan buatku ya. Rasulullah Nabi bersabda:
‘(Wahai sahabatku) tuliskan buat si Fulan ini (Kitab Ilm bab Kitabatul Ilm Juz 1 hal. 23). Diriwayatkan dari
Amr bin Syu’aib dan ayahnya dan kakeknya berkata, saya berkata: “Wahai Nabi apakah semua yang. kau
ucapkan perlu saya tuliskan? Nabi menjawab: “Ya”. Saya berkata, dalam keadaan ridha dan marah? Nabi
menjawab “Ya”, karena sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali yang benar.” (Sunan Turmudzy Juz
5 hal. 39 kitabul Ilm bab Maja’afi arrukhsoh fihi).
23 Bukhari Kitabul Tayammum Juz I hal. 70, Al-Muhalla,Ibn Hazm Juz I hal 339 cet. Matbaul lmam
(Mesir).
24 Nabi setiap turun atasnya ayat-ayat Al-Quran, memerintahkan pada para penulis wahyu utnutk
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
19
Oleh karena itu Nabi bersabda: Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku.”
Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan
dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu).
Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -- sebagaimana yang
telah diriwayatkan Bukhari25 Untuk menuliskan wa
siat. namun Sayyidina Umar menjawab: “Ya Rasulullah. Cukup bagi kami Al-Qur’an.
Dengan susunan .kalimat Sayyidina Umar ini -- “Yakfina Kitabullah” -- dan sama sekali
tidak menyebut Sunnah, berarti -- kalau kita mau jujur dan berprasangka baik --
Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum
tercatat dan belum terbukukan.
Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengata
kan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan
tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia
bilang “cukup Al-Qur’an”. kemudian sunnahnya bagaimana?
Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif
tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam
menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap
bahwa -- waktu itu sunnah belum terbukukan -- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada
(terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak
sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah
ada yakni Al-Qur’an.
mencatatnya dan disimpan di rumah beliau setelah diadakan pengoreksian dengan mencocokkan antara
penulisan dengan bacaannya.
25 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA ia berkata: ‘Ketika Nabi sakit keras beliau berkata “Berilah aku
selembar kertas aku akan tulis wasiat niscaya kamu tidak akan sesat setelahku nanti Umar berkata Nabi
terlalu parah sakitnya sehingga tidak terkontrol ucapannya dan kita sudah punya Kitabullah — Al-Quran
cukup bagi kami Kitabullah, lalu ributlah penghuni kamar beiiau sehingga Beliau mengusir mereka dan
berkata: Pergilah kalian dariku tidak sepantasnya terjadi keributan di hadapanku. ‘ lbnu Abbas berkomentar:
Bencana terbesar adatah terhalangnya Nabi dari penulisan wasiat itu. (Bukhari Kitabul Ilm bab Kitabatul
Ilm Juz 1 hal. 33).
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
20
Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya
kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.26
Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang
mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala
sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang
sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu.
Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww
wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.
Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah
Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang
belum terbukukan saat itu.
Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulanbulan
pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang
menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan
Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi
akhirnya Umar setuju. Pada awal nya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu
Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik
dengan pendirian Abu Bakar dan diserbulah Ahll Riddah (yang tidak mau membayar
zakat) itu.
Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini
tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka
tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al-Qur ‘an: “Yaitu peristiwa Tsa ‘labah.”
Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman
Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu,
namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang
tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada
sa.habat yang tidak tahu tentang masa lah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar
dan Umar. Hal mi menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang
terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.
Oleh karena itu hadits yang menyebut “ sunnati” ‘itu menurut mereka tidak bisa dipasti
26 Kitab Li Akuna Ma’ashodiqin oleh Mohd. Tijani as-Samawi
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
21
kan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik
dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka
tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka
sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad
kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah
itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah
maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?
Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang
pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan
setelah terjadinya peperangan Jamal, perang Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah
peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum
angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperangan-peperangan dan
peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:
Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih
parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada
mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai.
Jadi hadits “ sunnati” menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits “Wa ithrati hal
ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum
Syi’ah.
Dalam hadits “wa itrah” Nabi Saww seakan akan menyatakan, “Qur’an itu kutinggalkan
atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya
yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.
Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal
ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau
menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi
bersabda:
“Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya.”27
27 Mustadrok A1-Hakim Juz 3 hal. 126 dan a mengatakan bakwa hadita itu shahih. Tarikh Baghdad oleh
Al-Khathib A1-Baghdadi juz 4 hal. 348 mengatakan bahwa hadits itu shahih. Ushul Ghobah oleh ibnu Al-
Atsir Juz 4 hal. 22, Tadzhibudtahdzib okh lbnu Hajar Juz 7 hal. 427.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
22
Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ahlus sunnah juga
meriwayatkan “wa itrati” dan Syi’ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi
kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan
mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun “wa sunnati” hanya ada pada jalur kita
dan itupun hanya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan
sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau
belum ada.
Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi,
saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits
“Sunhati” dan “Itrati”. Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan
Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits “Sunnati” atau “Ihtrati”?
Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu
sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah “wa sunnati” tidak mungkin diucapkan oleh
Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit)
atau lengkap.
Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat
walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu
ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah
sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa
dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada
waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir
ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan
sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang
orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau
meninggalkan Al-Qur’an.28
Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi
28 Dalam shahlh Bukhari ada sebuah hadits riwayat dari Thalhah bin Masyraf yang mengatakan bahwa
beliau bertanya kepada Abdullah bin Abi Aufa: Apakah Nabi pernah berwasiat? Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, “Tidak”. Kemudian Thalhah bertanya:
Bagaimana beliau menyuruh orang lain agar berwasiat aedangkan beliau sendiri tidak melakukannya?
Dijawab oleh Abdullah: Beliau mewasiatkan Kitabullah.’ Bukhari Juz 3 hal. 168.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
23
meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati).
Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah.
Keenam: Apakah Mungkin di Zaman Setelah Nabi SAWW, ada pemalsu-pemalsu
Hadits?
Malzasiswa: Dengan keterangan Ustadz itu akhirnya kami merasa bingung, karena
Ustadz mengatakan “Kitabullah wa sunnati”; ternyata sunnah-sunnah zaman Nabi tidak
dibukukan. Tetapi mengapa toh sampai juga kepada kita dan dipakai oleh kita
Ahlussunnah Kemudian, apakah mungkin di zaman itu ada pemalsu-pemalsu hadits?
Ustadz Husein: Bila kita telah membaca sejarah dengan teliti tanpa ada rasa fanatisme
dan taqlid, maksudnya kita benar-benar bersikap neutral, maka bisa saja kita menerima
pendapat itu.
Setelah sahabat dengan sahabat berperang. Muawiyah mempunyai klik (kelompok) untuk
memerangi Ali sedangkan Ali dan Ahlul Bait Nabi Saww yang ditinggalkan Nabi sebagai
Sesuatu yang hidup atau sunnah yang hidup dan berjalan bersama A1-Qur’an yang
nantinya ditafsirkan oleh Ali. Ali dan Al-Qur’an sudah merupakan dua peninggalan yang
paling baik. Tetapi setelah hal itu dilanggar, kemudian Ali dirongrong dan dibunuh,
sampai Hasan dan Husein di bunuh, maka di zaman itu banyak orang yang sebenarnya
diragukan imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Saudara jangan menganggap ini adalah pendapat saya. Seorang sahabat yang
kesaksiannya dianggap dua orang oleh Rasulullah Saww. Yaitu Huzaifah bin Yaman
pernah mengatakan:
“Sesungguhnya kemunafikan itu ada pada zaman Nabi, namun di zaman kita sekarang
adalah kekafiran setelah Iman.”
Artinya mereka itu sudah keluar dan garis iman, dan itulah kafir setelah mereka beriman.
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari pada juz 9 Kitabul Fitan. Jadi kalau ada orang yang
dikualifikasikau oleh Huzaifah sebagai keluar dan iman -- kafir sesudah beriman -- jelas
orang-orang Seperti itu dapat melakukan pemalsuan hadits? Justru mereka mencari dalih
agar dapat menyingkirkan, menyudutkan dan meninggalkan Ali serta tidak membai’atnya
sebagai khalifah pertama, ada alasan.
Tidak bisa meninggaikan hadils “wa itrati’ sebab mereka sendiri meriwayatkannya dan
Syi ‘ah juga meriwayatkannya. Bagaimana alasannya hadits tersebut dibuang dan “wa
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
24
itrati” di ganti dengan “Wa sunnati”? Mereka lupa bahwa waktu itu sunnah belum
terbukukan, jadi mereka menambah. “Wa Sunnati” juga tidak diterima. Tampak jelas
bahwa ini merupakan sisipan atau suatu interpolasi, begitu kata penulis-penulis Imamiyah
Itsna Asyariyah.29
Hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara. Nabi itu orang yang
realistis tidak hanya idealis. Beliau tidak akan meninggalkan sesuatu yang belum ada dan
Beliau tahu bahwa sunnah belum terbukukan bahkan ada riwayat yang menyatakan
bahwa Beliau merasa pernah melarang menulis sunnahnya. Lalu bagai mana beliau
meninggalkan sunnah itu kepada kita? Jadi yang ditinggalkan adalah Al-Qur’an dan
manusia Allround (serba bisa) yang akan menjalankan A1-Qur’an, yaitu Imam Ali dan
Itrah, itulah sebabnya ada hadits Ghadir dan lain-lain.
Ahlussunnah menganggap tidak demikian dan memang kita berhak mengatakan demikian.
Oleh karena itu yang menolak hadits “ wa sunnati” yakni Syi’ah, kita tidak boleh kita
mengkafirkan dan yang mau memegangi “Wa sunnati” juga kita tidak menganggapnya
kafir. Hanya sekarang masing-masing kita melihat konsekuensi dan meninggalkan “wa
itrati” dan apa konsekuensi dan berpegang kepada “ sunnati”.
Nyatanya dalam masalah Perang Riddah para sahabat berselisih, sebab tidak ada buku
standar dalam sunnah. Tentu saja dalam A1-Qur’an tidak merinci masalah itu hanya ia
menyebutkan:
“maka bunuhlah mereka yang durhaka.” (Q.S.49: 9)
Karena itu kita tidak boleh menyalahkan Abu Bakar yang mengatakan: Orang-orang yang
tidak mengeluarkan zakat adalah kafir dan harus dibunuh. Sedangkan Umar mengatakan
tidak demikian, sebab ada hadits “yang boleh kita bunuh adalah orang yang belum
nzengucapkan syahadat sedangkan Ahli Riddah mengucapkan syahadat dan Malik bin
Nuwairah dan suku bani Tamim seorang yang kuat imannya -- kata Syi’ah -- dia tidak
mengeluarkan zakat kepada Abu Bakar karena dia bukan khalifah yang patut dipilih
tetapi Malik menunggu sampai Ali menjabat kekhalifahan. Kemudian Malik bin
Nuwairah cs. diperangi, menurut sebagian sumber sejarah. Baik itu terjadi atau tidak,
yang jelas sahabat berihtilaf dan berselisih faham tentang hal itu dan masih banyak lagi
para sahabat berselisih faham tentang masalah-masalah atau hukum seperti itu.
Padahal kita ingat Tsa’labah, juga seperti kasus Malik bin Nuwairah cs. yang tidak
29 Kitah Li Akuna Ma’ashodiqin oleh M. Tijani As-Samawi.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
25
mengeluarkan zakat, tetapi Rasulullah Saww tidak membunuhnya dan dibiarkan tetap
hidup.
Ketujuh: Apakah ithrah itu? Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai
keturunan sekarang atau mungkin ada batasnya?
Mahasiswa: Apakah ithrah itu sebenarnya? Sebab kami dengar keturunan Rasulullah itu
masih ada sampai sekarang ini. Apakah yang dimaksudkan ithrah itu sampai kepada
keturunan Rasulullah yang sekarang ini atau mungkin ada batas-batasnya?
Ustadz Husein: Perlu saya tegaskan bahwa pertanyaan anda tentang Itrah itu memang
penting. Saya juga perlu menegaskan bahwa saya akan menjawabnya berdasarkan
pendapat Madzhab Ahlul Bait. Sebab Ahlus sunnah mempunyai pendapat yang masih
Abstrak, belum konkrit betul.
Madzhab Ahlul Bait mengatakan bahwa Nabi dengan keluarganya mempunyai tiga
(dibagi tiga) istilah:
1. Ahlul Bait yaitu; yang dikatakan Ahlul Kisa, yakni manusia-manusia yang pada
saat -- sebagaimana riwayat Bukhari, dan lain-lain -- di selimuti oleh Nabi Saww
dengan sorban Beliau, lalu mereka satu persatu dipanggil masuk ke dalam sorban
tersebut. Kemudian Rasul Saww berdo’a:
“Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baitku, maka lenyapkan dari mereka ini noda dan
dosa dan bersihkan mereka sebersih-bersihnya.”
Ini dinamakan Ahlul Bait. Ketika Ummu Salamah, isteri Nabi Saww berada di luar
dan bertanya: Ya Rasulullah, bolehkah saya masuk? Nabi menjawab: “Kamu
tennasuk orang yang baik. Jadi ada lima Ahlul Kisa yang dikepalai oleh Rasulullah
Saww, kemudian Ali Fatimah, Hasan dan Husein. Ini keluarga dan Allah SWT
mewajibkan cinta kepada keluarganya menurut semua madzhab. Tak ada satu pun
madzhab yang mengingkari hadits-hadits yang menyuruh ummat Islam mencintai
keluarga Rasul Saww lebih dan mencintai dirinya sendiri hingga -- saya kira --
Khawarij pun tidak mengingkarii hadits hadits ini.
2. Dzurriyah adalah nama (istilah) dari keturunan kelima manusia suci tersebut, saya
juga Sependapat dengan orang-orang yang mempunyai silsilah keturunan mereka
hingga orang-orang ini bisa dianggap dzurriyah dan Ahlul Bait. Dzurriyah yakni
yang sampai sekarang mempunyai silsilah nenek moyang sampai kepada Ali dan
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
26
Fatimah, ini dikenali dengan Dzurriyah Ahlul Bait.
3. Itrah ialah para Imam yang berjumlah 12 orang, ini disebut Nabi Saww, yang
dimulai dan Ali, Hasan, Husein dan seterusnya hingga Imam yang kedua belas,
yang sekarang belum muncul dan ghaibnya yaitu Imam Mahdi. Begitulah ke
percayaan Syi ‘ah Imamiyah. Oleh karena itu mereka disebut Imamiyah karena
mereka berpegangan dengan Itrah. Mereka mengakui juga bait wa Itrah ini
mempunyai dzurriyah atau keturunan juga.
Kedelapan: Di mana turunnya ayat yang berkenaan dengan peristiwa Ghadir
Khum dan berkaitan dengan peristiwa apa?
Mahasiswa: Selanjutnya kami ingin menanyakan tentang ayat yang turun sehubungan
dengan peristiwa Ghadir Khum. Pertanyaan kami di mana turunnya ayat itu? (Yang
berkenaan) dengan peristiwa Ghadir Khum dan berkaitan dengan apa?
Ustadz Husein: Masalah ini antara Sunnah dan Syi’ah mempunyai riwayat dan pendapat
masing-masing. Kalau kita Ahlus Sunnah mengatakan bahwa ayat “Al-Yauma Akmaltu
diturunkan kepada Nabi Saww ketika beliau sedang berdiri di Arafah pada waktu Haji.
Riwayat ini dan Sayyidina Umar yang tercantum dalam shahih Bukhari juz 5 bahkan
disebutkan di kitab itu bahwa ada seorang Yahudi berkata: “Hai kaum muslimin,
andaikan ayat ini turun kepada bangsa kami, maka hari itu akan kami jadikan hari raya
sepanjang sejarah.” Umar bertanya: “Ayat yang mana? Jawab Yahudi: “Aya Al-Yawna
Akmaltu...” Aku tahu, kata Umar, turunnya ayat itu. Ayat itu diiturunkan atas Rasul-Nya
yang sedang wukuf di bukit Arafah.30 Ayat tersebut berbunyi:
“Pada hari itu Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku cukupi buat kamu
ni‘mat-Ku dan Aku relakan kepadamu islam sebagai agamamu. (Q.S.S: 3).
Riwayat lainnya dari Ahlussunah juga dinwayatkan oleh Isa Ibnu Hanitsah Al-Anshari:
“Ketika kami -- para sahabat sedang duduk-duduk, tiba-tiba datang seorang Nasrani
sambil berkata: “Wahai kaum Muslimin, ada satu ayat yang telah turun kepada kalian.
30 Tafsir Ad-Durul Mantsur oleh Imam Suyuthi Juz 3 hal. 17 dan ia mengatakan: “Riwsyat ini diriwayatkan
banyak Ulama antara lain Bukhari, Muslim, Turmudzy, Nasal, Thabary, Baihaqi, ibnul Mundzir, Ibnu
Hibban dan Imam Ahmad.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
27
Seandainya ayat tersebut diturunkan kepada kami, maka hari itu dan saat itu akan kami
jadikan sebagai hari raya bagaimana pun juga keadaannya asalkan selama masih ada dua
orang Nasrani di atas bumi ini. Perawi hadits ini berkata: Tak seorang pun di antara kami
yang menjawab perkataan Nasrani itu. Kemudian aku bertemu dengan Muhammad bin
Ka‘ab al-Kurodi dan kutanyakan kepadanya masalah tadi, dan dia pun menjawab:
Mengapa kalian tidak menanyakan kepada Umar? Setelah ditanyakan kepada Umar, ia
menjawab: Ayat itu diturunkan kepada Nabi Saww, di saat Beliau berdiri di atas bukit
Arafah. Dan hari itu memang kita jadikan hari raya dan dijadikan hari raya oleh kaum
muslimin. Kalau tidak salah Imam Suyuthi juga mengutip hadits ini dalam kitabnya Ad-
Durul Mantsur dalam ayat “Al-Yauma Akmaltu”.31
Riwayat yang lain adalah riwayat Ahlul Bait. Riwayat ini menyatakan bahwa ayat ini
bukan turun di Arafah tetapi turun di Ghadir Khum. Jadi Syi 'ah mengatakan bahwa ayat
ini untuk menentukan wasiat kepada Ali bin Abi Thalib. Jadi rinciannya, sebelum ayat ini
turun Nabi menerima wahyu berupa ayat “Tabligh”
“Wahai Rasul, sampaikanlah semua yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Jika
kamu tidak melakukannya, bererti engkau tidak menyampaikan semua risalahmu, Dan
Allah akan menyelamatkanmu dari (kejahatan) manusia.” (Q.S. 5: 67)
Kemudian Beliau mengangkat Ali dan menunjuk Ali sebagai Walinya bahkan Nabi
bersabda:
Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.”
Setelah pengangkatan Ali tersebut turun ayat “Al Yawma...” Jadi turunnya bukan di
Arafah dan dan sini banyak juga orang yang meragukan riwayat Sayyidina Umar yang
meriwayatkan ayat mi turun di Arafah.32 Sebab kalau turunnya pada hari Arafah dan
dikatakan sebagai hari raya, maka hal itu tidak benar. Arafah itu adalah hari kesembilan
31 Bukhari, Kitabut Tafsir Juz 4 hal. 123, Durul Mantaur Juz 3 hal. 18, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya
32 Sebab riwayat Umar Ra ini selain kandungannya kurang sesuai dengan kenyataan dan bertentangan
dengan riwayat-nwayat lain yang lebih kuat kcdudukannya, juga sanadnya (pembawa riwayatnya) ternyata
belum memenuhi standar sebuah riwayat yang boleh dikatakan sahih.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
28
bulan haji dan bukan hari raya, hari raya itu adalah hari kesepuluh haji. Karena kesalahan
ini maka kemungkinan hadits ini juga di anggap oleh Imamiyah sebagai hadits yang perlu
dikoreksi lagi. .Mustahil Sayyidina Umar tidak tahu bahwa hari Arafah’ itu merupakan
hari wukuf. Dan populer di kalangan kita kaum muslimin bahwa han kesembilan bulan
haji bukanlah hari raya.
Sayyidina Umar berkata: “Memang benar bahwa ayat tersebut saya tahu bahwa Ia turun
di Arafah dan kita kaum muslimin menjadikannya sebagai hari raya. “Hal ini tidak benar
dan tidak cocok dengan kenyataan, maka hadits mi masih perlu dikoreksi kebenarannya.
Imamiyah tidak menerima hadits ini karena mereka bias memastikan bahwa ayat itu turun
di Ghadir Khum.
Ada juga riwayat-riwayat Ahlus sunnah yang paralel dengan riwayat mereka (Syi‘ah)
dalam masalah pengangkatan Ali tersebut. 33 Cuma kita menganggap hal itu bukan
pengukuhan Ali dan penunjukan Ali sebagai pemimpin, tetapi penafsirannya yang
dirubah: “Man kuntu maulahu…” -- yakni “siapa yang mencintai aku atau aku mencintai
dia maka dia harus juga mencintai Ali.” Kata Syi’ah: “Kalau hanya itu maksud Nabi,
maka tidak mungkin Beliau mengumpulkan sampai sebanyak 120,000 sahabat, itu terlalu
memboroskan tenaga jika hanya untuk mencintai Ali saja. 34 Masalah ini termasuk
masalah yang masih dikoreksi Syi’ah.
Syi ‘ah mempunyai pendirian bahwa ayat tersebut turun di Ghadir Khum (di satu tempat
di antara Makkah dan Madinah).
33 Hal ini dimuat dalam 30 Buku Standar Ablus Sunnah di antaranya adalah Syawahidit Tanzil Li Qowaidit
Tafsil wal Tanzil oleh Al Hafiz Al-Hakim, Tafsir Faidhul Ghadir oleh Al-Qadhi As-Saukani Juz 3 hal. 56,
Tafsir Al-Manar oleh Syeikh Raayid Ridha Juz 6 hal. 463, Asbabun Nuzul oleh Al-Wahidi (w:465) hal.
150, Tafsir An-Nisaburi oleh Nidhomuddin Al-Qumi An-Nisaburi juz 6 hal. 170. jadi riwayat turunnya ayat
A1-Yauma... • bukan hanya shahih menurut pandangan para Ulami Ahlus Sunnah bahkan mencapai derajat
yang mendekati mutawatir. Untuk lebih jelsenya baca Dialog Sunnah-Syi’ah, dialog ke-55 dan 56 oleh
Syarafuddin Al-Musawi.
34 Lihat Dialog Sunnah — Syi’ah, dialog ke 57, 59 dan 62.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
29
Mahasiswa: Ayat yang Ustadz bacakan tadi yakni: “Ya Ayyuhal Rasul” apakah benar
ayat itu turun berkenaan Ali bin Abi Thalib?
Ustadz Hussein: Menurut Imamiyah ayat itu jelas turun untuk mendesak Nabi agar
menyampaikan wahyu Allah untuk mengangkat Ali sebagai pemimpin.35 Bahkan ada
tuduhan dari pihak kita bahwa dalam Qur’an Syi’ah ada tambahan sehubungan dengan
ayat itu “Ma unzila ilaika minrrobbikafi Ali”.
Sebenarnya tuduhan itu tidak tepat. Kalau kita mau membaca kitab-kitab tafsir, maka
kata kata “fi Ali” itu ada di antara tanda kurung. Jadi kata-kata itu tidak termasuk ayat
A1-Qur’an tetapi hanya tafsirannya saja.
Kadang-kadang mushaf para sahabat Nabi disertai juga dengan asbabun nuzulnya tetapi
mereka tahu perbedaannya dengan ayat aslinya dan kata “fi Ali” itu lebih mirip dikatakan
aibabun nuzulnya, bukan kata tambahan buat ayat itu dan ini bisa dipahami. Jadi mereka
bukan menambah dalam ayat A1-Qur’an tetapi hanya keterangan seperti dalam kurung
walaupun mereka tidak memasang tanda kurung di antara kata-kata itu sebagaimana
dahulu Al-Qur’an tidak diberi tanda-tanda seperti titik dan harakat tetapi orang
memahaminya.
Kesembilan: Apakah benar,bahwa Syi ‘ah menambah dan mengurangi ayat-ayat
Al-Qur’an dan melakukan perubahan-perubahan?
Mahasiswa: Setelah Ustadz menyebut tentang penambahan ayat Al-Qur’an, maka
mengingatkan kami pada satu masalah yang akan kami tanyakan yakni permasalahan
perubahan ayat-ayat A1-Qur’an yang dituduhkan kepada Syi’ah.
Apakah benar tuduhan bahwa Syi’ah menambah dan mengurangi ayat-ayat A1-Qur’an
dan melakukan perubahan-perubahan? Saya mendengar bahwa salah satu pemimpin
Syi’ah yakni Ja’far Shadiq mengatakan bahwa Al-Qur’an itu berjumlah hampir 20,000
ayat. Dalam hal ini apakah Ustadz dapat menjelaskan kepada kami?
35 Lihat Dialog Sunnah -- Syi’ah, dialog ke 57, 59 dan 62.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
30
Ustadz Husein: Dalam hal mi kita harus benar-benar memperhatikan apa yang pernah
diucapkan oleh Syi’ah sendiri. Jadi kita tidak boleh memutuskan berdasarkan teks-books
kita atau ,riwayat-riwayat yang kita terima dan berbagai golongan dan perawi, kemudian
kita vonis bahwa mereka itu mempunyai Al-Qur’an sendiri. Kita harus mengerti juga
bahwa yang dikatakan mempunyai Al-Qur’an’ sendiri itu bukan Ali saja tetapi ada
mushaf Abu Bakar, mushaf A’isyah, mushaf Utsman, mushaf Umar yang dititipkan
kepada Hafsah dan ada beberapa mushaf-mushaf lainnya.
Menurut kita Ahlus Sunnah mushaf-mushaf tersebut jelas tidak mengandung kelebihan
atau kekurangan. Kalau kita mau teliti lagi, menurut Syi‘ah justru yang melakukan tahrif
itu adalah Ahlus sunnah sendiri. Jadi kalau kita melempar kan tuduhan tahrif kepada
mereka maka mereka akan menyatakan bahwa sebenarnya yang melakukan tahrif itu
adalah kita Ahlus sunnah.
Syi ‘ah mengatakan, kita melakukan tahrif misalnya, kita memiliki dua surat di dalam
Al- Qur’an menurut sumber-sumber kita sendiri.36
Dua surat ini kata Syeikh Raghib Asfahani dalam risalahnya adalah dua surat qunut. Dua
surat ini dipakai oleh Sayyidina Umar dalam qunut. Dua surat ini ada dalam mushaf lbnu
Abbas dan mushaf Zaid bin Tsabit.
Bila di dalam mushaf-mushaf mereka ini ada dua surat qunut maka mushaf-mushaf ini
termasuk ada tambahannya.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ubay bin Ka ‘ab: “Beberapa kamu
membaca surat Al-Ahzab? Surat Ahzab in biasanya berjumlah 70 ayat lebih sedikit
namun kami pernah membacanya bersama Rasulullah seperti surat Al-Baqarah atau lebih
dari itu.37 Dalam surat Al Baqarah ada “ayat Rajm ternyata sekarang tidak ada.38
Apakah surat Al-Ahzab yang berjumlah 72 ayat menurut Ahlus Sunnah itu kurang?
Mestinya 200 ayat lebih? Riwayat-riwayat ini tercatat dalam kitab-kitab kita Ahlus
36 Al-ltqon oleh Suyuthi juz I hal. 67 dan Juz 2 hal 26. Ad-Durul Manthur
37 Talkhisul Mustadrak Juz 4 hal. 359 oleh Adz-Dzahabl, Al-liqan Juz 2 hal. 25, Urwah bin Zubair
meriwayatkan dari A’isyah ia berkata: “Dulu surat Al-Ahzab di zaman Nabi Saww sebanyak 200 ayat akan
tetapi setelah Utaman memerintahkan untuk menulis Al- Qur’an, kita tidak bisa mendapatkannya kecuali
yang sekarang.ini 72 ayat saja.
38 Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
31
Sunnah.
Ketika Sayyidina Umar berkhotbah: “Wahai manusia, jangan kamu tinggalkan orangorang
tua kamu, kalau kamu tinggalkan mereka maka kamu jadi orang kafir.” Umar
menganggap ini ayat dan dibacanya di atas mimbar.39 Ada juga ayat “Wadzakari wa
untsa” tanpa kata wama kholaqo.40 Semua riwayat in! dan kita Ahlus Sunnah sendiri.41
Mengapa hal ini tidak kita anggap tahrif juga? Kalau yang begini tidak dianggap tahrif
maka hal ini merupakan sesuatu yang sulit, sedangkan kita sendiri belum bisa
membuktikan apa yang mereka tulis.
Kalau kita mengatakan mereka, kalau kita katakan apa yang kita maksud dengan tahrif,
tadi saya contohkan mereka menulis “ma unzila ilai ka fi Ali” ini bukan tahrif, tetapi
hanya menambah penjelasan dan asbabun nuzulnya, tetapi dalam A1-Qur’an mereka,
sampai sekarang ini tidak pernah ada yang menyebut adanya tambahan atau pengurangan.
Di dalam Aqo’id Imamiyah yang ditulis oleh Syeikh Al-Mudhafar, dia mengatakan:
“Kami percaya bahwa Qur’an itu wahyu Ilahi yang di turunkan Allah kepada Nabi
Muhammad Saww dan di dalamnya mengandung keterangan tentang segala sesuatu. Dia
adalah salah satu mukjizat Nabi Saww yang paling besar dan abadi yang semua manusia
tidak akan bisa menandinginya baik dalam bahasa maupun sastranya. Tidak pula bisa
menandinginya tentang apa yang dikandungnya dari kebenaran-kebenaran dan
kenyataan-kenyataan serta pengetahuan-pengetahuannya yang hebat yang tiada mampu
disentuh oleh kebatilan atau perubahan atau tahrif Dialah Qur’an yang ada di tangan kita,
yaitu Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saww. Siapa pun yang mengakui
selain ini maka ia adalah melanggar Sunnah Nabi atau masih kabur dalam masalah ini.
Kami kemudian mendengar bahwa musuh-musuh Syi’ah selalu menuduhnya melakukan
tahrif berdasarkan kitab-kitab Muhammad Taqi An-Nuri At-Thabrasi (wafat 1320 H) dan
dia orang Syi’ah.
Mereka mengatakan bahwa orang tersebut mengatakan adanya tahrif dalam Al-Qur’an.
Seorang penulis Syi’ah yang mengatakan adanya tahrif di dalam fahamnya kemudian kita
39 Bukhari, Kitabul Hudud bab rajmul hubla.
40 Bukhari juz 6 hal. 211.
41 Selain riwayat-riwayat tersebut d atas ada lagi riwayat dan Nafi’, Is berkata, bahwa lbnu Umar berkata:
Janganlah seorang dari kalian berkata, saya telah menghafal Al-Qur’an semua, tahukah ia apa semua itu?
Sudah banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah hilang dan sirna, akan tetapi hendaklah is mengatakan, saya
menghafal apa yang ada. (Al-Itqan Juz 2 hal. 25).
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
32
menyatakan bahwa semua orang Syi’ah juga melakukannya, hal itu merupakan
kesimpulan yang gegebah.42
Di dalam beberapa kitab Ahlus Sunnah menyatakan adanya tahrif tetapi Syi’ah tidak
menuduh Sunni mentahrif Qur’an. Kita sebenarnya tidak adil atau tidak jujur, sebab
sebaiknya kita melihat kepada diri kita sendiri sebelum mengkritik orang lain dan lebih
baik membentangkan ayat-ayat lain yang menentang adanya tahrif. Kalau kita melihat
diri kita sendiri, maka akan kita jumpai tahrif itu di dalam Ahlus Sunnah ini, misalnya
ketika Sayyidina Abu Bakar menjelang wafat dia membaca sebuah ayat Al-Qur’an tetapi
Ia tidak membacanya “waja-at sakaratul mauti bil haq melainkan membaca “ sakaratul
haqqi bil maut”.
Apakah dengan demikian A1-Qur’an telah di rubah selain itu, ada juga ayat “wadz
dzakara wal untza” tanpa “wama khalaqa...” Bukankah ini sesuatu kekurangan?
Walhasil nampaknya kita Ahlussunnah ini hanya ingin mengkafirkan Syi‘ah saja, kita
harus jujur. Cara kita menganalisa dan sikap kita terhadap Syi‘ah tidak “saintifik” ( saya
sendiri menyesali hal ini, setiap saat saya berusaha untuk neutral -- apalagi saudara-
42 Memang benar di kalangan Syi’ah ada yang mengatakan adanya tahrif dalam Al-Quran akan tetapi
pendapat itu dibantah oleh mayoritas Ulama Imamiyah yang terdahulu maupun yang hidup di abad ini
antara lain:
I. Syekhut Thoifah (pimpinan tertinggi Syiah) At-Thusi penulis tafsir At-Thibyan 50 jilid.
2. Syeikh Shaduq Ibnu Babawaih Al-Qumi.
3. Syeikh At-Thabrasi penulis Tafsir Majma’ul Bayan.
4. As-Syarif Al-Murtadho Alamul Huda.
5. Syeikh Jawad Balaghi penulis tafsir alaur-Rahman.
6. As-Sayyid Abul Qosim Al-Khu’i (Pimpinan tertinggi Syi’ah di Iraq pada zaman mi) penulis tafsir Al-
Bayan.
1. Syeikh Fadhil Al-Lankaroni murid Imam Khomaini penulis A1-Madkho fi ulumil Quran.
S. Imam Khomaini berkata: Seaungguhnya orang yang merenungkan betapa perhatian kaum muslimin
dalam hal pengumpulan A1-Qur’an dan penghafalannya akan tahu kesalahan anggapan tentang adanya
tahrif sebab pendapat ini tidak pantas diyakini kebenarannya oleh orang-orang yang sedikit memiliki akal
yang waras, adapun riwayat-riwayat yang ada tentang hal itu adakalanya dho’if atau maudhu’ (palsu) yang
nampak jelas sekali tanda-tanda kepalsuannya. Tetapi adakalanya Shahih akan tetapi hanya merupakan
tafsiran (buka penambahan). Dan kami sudah jelaskan bahwa Al-Qur’an adalah yang ada di mushaf-mushaf
ini adapun perselisihan antara Quro’ (ahli qira’at) tidak ada sangkut pautnya dengan yang dibawa oleh
Jibril As kepada Rasulullah Saww.” (Lihat Tadzibul Ushul Juz 2 hal. 96 — Kuliah Ushul Fiqih Imam
Khomaini - yang kemudian dibukukan oleh Ayatullah Ja’far Subhani dalam bukunya Ma’alimun Nubuwah
Juz 5 hal. 396 dan Kasyful Asrar (Kitab Imam Khomajni dalam bahasa Parsi).
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
33
saudara kalangan mahasiswa ini -- Saya sama sekali tidak menganjurkan agar saudara
masuk Syi ‘ah bahkan simpati pun tidak. Saran saya hanya jangan mencerca dengan dasar
sesuatu yang belum anda kuasai seluruhnya karena sikap itu tidak terpuji dan tidak
menguntungkan kita, bahkan menguntungkan kaum Nasrani.
Dan mereka yang sekarang ngotot mengkafirkan Syiah di segala tempat. Bahkan mereka
mempropagandakan untuk mengkafirkannya di alun-alun, untuk itu mereka menyebarkan
selebaran-selebaran seperti mereka menyebarkan iklan-ikian bioskop.
Mereka nampak benar sebagai orang-orang yang nafas wahabismenya besar. Sedang ciri
dan nafas wahabisme itu adalah mengkafirkan semua madzhab atau sekte dan semua
aqidah Islam di dunia ini termasuk kita dikafirkan dan dicap sebagai musyrikin. Misalnya
bila kita melakukan tawasul, mengangkat tangan, apalagi di kuburan Nabi Saww maka
tidak ada ampun bagi kita, langsung saja clicap “syirik”. Rupanya ada tangan-tangan
kotor Wahabi yang bergerak di Indonesia ini dengan begitu gigih untuk menjadikan
Indonesia mi agar tidak mau mendengar Syi ‘ah sama sekali.
Menurut saya hal itu terlalu jauh untuk di jangkau, sesuatu yang tidak mungkin terjadi,
sebab Syi ‘ah ini telah ada sebelum madzhab Ahli sunnah. Syi’ah Ali. Apalagi ajaranajaran
Syi’ah telah lama dibukukan dan bisa dibaca oleh semua orang yang bisa bahasa
Arab, Persi, Inggris atau lainnya. Orang bisa membaca bahwa di situ tidak ada sedikit
pun kandungan syirik yang dituduhkan Wahabi itu.
Kalau mereka menghormati Ali karena Nabi menyuruh mencintainya, itu adalah hak
mereka. Kalau mereka membenci orang-orang yang memerangi Ali itu pun hak mereka,
sebab memerangi Ali sama dengan memerangi Nabi sebagaimana sabdanya:
“Aku memerangi orang yang memerangi engkau (Ali dan damai bersama orang yang
damai denganmu.”43
43 Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepada Ali, Hasan, Hussein dan Fatimah As: Aku perang melawan
orang yang memerangi kalian, dan damai dengan orang yang damai dengan kalian. Hadith ini diriweyatkan
oleh:
1. Turmudzy Juz 2 hal 319 dari sahabat Zaid bin Arqam.
2. Ahmad bin Hambal dl Musnadnya luz 2 hal. 442 dari sahabat Abu Hurairah.
3. Al-Hakim dalam Mustadraknya. Juz 3 hal 149.
4. Muttaqi Al-Hindi Al-Kanzul Ummal iuz 6 hal. 216. Dinukil dari riwayat lbnu Hibban dan di Juz 7 hal.
102 menukll d riwayat dan lbnu Abi Syaibah, Turmudzy, lbnu Majah Ibni Hibban, Thabrani, Al-Haklm dan
Ad-Dhiya’ A1-Magdisi.
5. lbnu Atsir dalam Usdul Ohobah Juz 3 hal. II dan sahabat Umi Salama.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
34
Namun apa yang terjadi? Ketika Ali diangkat menjadi khalifah, beliau dikeroyok. Mereka
yang memerangi Ali menurut Syi’ah adalah orang-orang yang tidak bisa dipakai lagi
riwayat-riwayat mereka dan agama mereka.44
Kita tidak bisa menyalahkan pendirian ini kalau kita masih tetap memakai mereka itu hak
kita tidak ada masalah.
Kalau kita menyatakan bahwa Syi ‘ah itu kafir, hanya kita disuruh oleh segolongan
tertentu dan luar negeri khususnya Wahabi itu, itu tidak benar karena Syi ‘a sudah jelas
kedudukannya dan tidak bisa dikafirkan. Dan ketika kita mengkafirkan Syi‘ah sebenamya
kita sudah termasuk perangkap intrik politik Timur Tengah dan kita harus waspada dan
menolak maksud mereka agar kita mendiskreditkan Iran, karena Iran nampaknya tidak
bisa dirobohkan dengan dentuman senjata yang modalnya dan orang-orang Arab seluruh
Timur Tengah.
Karena gagal cara ini mereka menyerang madzhabnya atau personnya Khomaini dicerca
dan difitnah habis-habisan tetapi nyatanya mereka tidak berhasil. Slogan-slogan Arab
melawan Persi dan Nasionalisme Arab juga tidak merobah keadaan. Dengan demikian
Yahudi dapat kesempatan memasukkan ide-ide kotor kepada orang orang yang dangkal
ilmunya dan sempit akhlak nya, juga menteror madzhab-madzhab dan yang kena adalah
kita sendiri.
Saya mengakui bahwa kita telah masuk perangkap ini. Walhasil, kita harus sebisa
mungkin mengkaji Islam ini dan segala madzhab agar pandangan kita lebih luas dan tepat.
Saya mengumpamakan madzhab-madzhab yang banyak, yang ada ini seperti sebidang
kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan yang lezat dan segar,
seperti durian, mangga, duku, manggis, apel dan lain sebagainya.
Bila ada orang masuk kebun itu dan dia memetik serta memakan manggis, jangan
dilarang berilah kebebasan sekehendak seleranya yang penting kebun ini sudah jelas
milik kita ummat Islam.
Kalau misalnya ada masalah-masalah berat dalam satu madzhab maka saudara boleh
memilih madzhab lain yang membahas masalah itu. Misalnya saudara sering tersentuh
6. Al-Muhib At-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhiroh Juz
hal. 199 dan sahabat Abu Bakar.
7. Al-Suyuthi dalam tafsir ayat 33 dalam surat Al-Ahzab.
44 Al-Iqthisod ila dinir rosyad oleh Syeikh Thusi.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
35
perempuan yang bukan mahrom maka kalau saudara keberatan jangan mengikuti
madzhab yang membatalkan wudhu saudara bila saudara bersentuhan dengan perempuan,
saudara boleh mencari pandangan madzhab lain dalam masalah itu. Agama itu mudah
dan ihtilaf di sini merupakan rahmat asal saja jangan memvonis madzhab lain dengan
dasar teks-books madzhab saudara.
Contoh lain adalah Abu Hanifah melarang orang membaca satu huruf pun di belakang
Imam ketika ia shalat, kemudian saudara katakan Abu Hanifah itu bodoh, tidak mengerti
hadits yang berbunyi:
“Tidak dianggap shalat bila seseorang yang shalat tidak membaca Ummul Kitab (Al-
Fatihah.”.”45
Ahmad bin Hanbal juga berpendapat bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahrom
tidak membatalkan wudhu, kemudian saudara katakan bahwa dia tidak mendengar haditshadits
yang menyatakan masalah itu. Jadi kalau kita memakai madzhab kita untuk
menghakimi madzhab lain, tentu saja kita mengatakan madzhab lain itu salah, nyatanya
ada masing-masing madzhab mempunyai pendapat yang berbeda-beda, bila ada 8
madzhab berarti ada 8 pendapat, dan kalau ada delapan pendapat pasti masing-masing
pendapat itu saling berbeda, tetapi jangan saling mengkafirkan.46
Mahasiswa: Ustadz, pertanyaan tadi tentang pernyataan Ja’far Shadiq belum terjawab.
Ustadz Husein: Masalah Imam Ja’far Shadiq pernah saya baca dalam Kitab Al-Kafi di
sana beliau menyatakan bahwa Al-Qur’an terdiri dan 17,000 ayat. Hal ini dimaksud
dalam tafsiran Syi’ah (dalam catatan kaki dan kitab itu dijelaskan bahwa setiap waqafwaqaf
(tempat berhenti itu dianggap satu ayat) misalnya kita dapat melihat dalam ayat
kursi (A1-Baqarah ayat 255) kita menganggapnya satu ayat dan Syi’ah menganggapnya 8
ayat.
Tetapi jangan lupa bahwa Sayyidina Umar pernah berkata bahwa Qur’an mi berjumlah
seribu-ribu huruf47 yakni maksudnya satu juta Sedangkan huruf yang ada sekarang hanya
sepertiganya. Dan mana yang dua pertiga lainnya? Dengan demikian Syi‘ah bisa
menuduh kita tahrif. Saudara bisa baca dalam kitab “Al-Itqan
ulumul qur’an”. Sebaiknya kita tidak menyatakan bahwa kita melakukan tahrif demikian
45 Bukhari Kitabu Shalah Bab Wujubul Qira’ah. ..Juz 1 hal. I38
46 Kecuali dalam masalah-maaalah yang telah disepakati oleh semua madzhab atau mutafaqun alaihi.
47 At-Thabari meriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Nabi Saww A1-Qur’an terdiri dan 1,027.000 huruf,
barangsiapa membacanya dengan sabar den ikhlas akan mendapatkan pahala setiap hurufnya satu bidadari
(Al-Itqan juz I hal. 72).
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
36
pula kita tidak menuduh madzhab lain melakukannya, masing-masing punya bukti dan
argumen.
Mahasiswa: Mengapa Syi’ah Imamiyah shalat tiga waktu? shalat tiga waktu? Dulu kami
pernah tahu di Indonesia ada agama tiga waktu, apakah mungkin keduanya ada kesamaan?
Ustadz Husein: Saya kira tidak ada persamaan antara Syi ‘ah dan agama tiga waktu itu,
sebab kita (Ahlus Sunnah) sendiri membolehkan cara demikian itu. Pertama Ahlus
sunnah sepakat tentang bolehnya jamak di Arafah. Antara Dhuhur-Asar dan kita namakan
jamak takdim.
Kedua kita menjamak shalat Maghrib-lsya’ di Mudzdalifah yang dinamakan jamak takhir.
Pendapat ini telah disepakati oleh kaum muslimin, termasuk Syi ‘ah. Ahlus sunnah
membolehkan jamak takdim dan takhir dua fardhu kalau kita dalam perjalanan atau safar.
jadi shalat jamak Dhuhur Ashar di waktu Dhuhur atau di saat Ashar. Maghrib-Isya’ di
waktu Maghrib atau telah masuk waktu Isya’. Shalat-shalat ini boleh dijamak kalau kita
dalam perjalanan,’ tetapi Syi’ah tidak demikian.
Syi’ah mengatakan walaupun seseorang tidak dalam perjalanan Ia boleh menjamak shalat
shalatnya. Selain ‘itu ada satu madzhab yang berbeda dengan yang lain dalam
Ahlussunnah tentang masalah ini. Yakni Madzhab Ima,n Syafi’i yang menyatakan,
“Orang boleh menjamak shalat shalat Dhuhur-Ashar, Maghrib-fsya’ walaupun dia tidak
dalam perjalanan. Tidak ada halangan hujan dan tanpa alasan apa pun. Cuma beliau
nenyatakan bahwa hal itu tidak boleh dijadikan kebiasaan.”48
Kalau menurut Imamiyah, kita boleh menjadikannya kebiasaan sepanjang tahun. Dalam
masalah ini mereka tentunya berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Yakni Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saww pernah menjamak antara Dhuhur dan Ashar
sebagaimana diriwayatkan Muslim.49 Maksud Nabi hanya untuk meringankan ummatnya,
48 M.Hafidh Ibnu Hajar berkat. dalam buku ‘Fathul Bari: Sekelompok Ulama (para Imam) mengambil
Hadith itu (hadits dibolehkannya jama’ tanpa ada alaasan atau udzur) sebagai bukti dan mereka
membolehkan menjama’ shalat dalam keadaan bermukim secais mutlak jika diperlukan, asal tidak
dijadikan sebagai kebiasaan.Dan di antara mereka yang membolehkan hal itu adalah: Ibnu Sirrin ‘Ra,
Robi’ah, Asyhab bin Mundzir, Al Qoffal Al-Kabir. Al-Khottobi menceritakan atau mengutip pendapat itu
dari sekelompok ulama ahli hadita (Tuhfazul Ahwazi oleb: Al-Mubarokfuri Al-Hindi Juz I hal. 558,
Anjazul Masalik ii. Muwatto’i Malik oteh: Maulana Muhammad Zakaria Al Kandahliawi Juz 3 hat. 79.
Syarh Zarqoni II. Muwatho’i Malik okh: Muhammad Zarqoni Iuz I hal 294. Shahih Muslim Syarh Nawawi
Juz 5 hal. 218-219.
49 Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rasulullah Saww menjama’ shalat di Madinah tujuh
dan delapan rakaat antara Dhuhur-Ashar serta Maghrib-lsya’ (Muslim Bab Jamak baina shalatani Fil
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
37
kalau kita mau mengkaji kitab-kitab hadits kita yang shahih maka kita akan. tahu bahwa:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saww pernah menjama’
shalat-shalat beliau di Madinah sedangkan beliau dalam keadaan tidak dalam
perjalanan.50
Di dalam kitab Imam Malik “Al Muwatha” 51 Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saww shalat Dhuhur dan Ashar dijamak, juga Maghrib dan Isya’. Tanpa
alasan perang atau perjalanan, Imam Muslim dalam shahihnya bab jamak antara dua
shalat di dalam kota. Juga dan Ibnu Abbas Rasulullah Saww pernah shalat Dhuhur-Ashar,
dan Maghrib-Isya’ di Madlnah tanpa alasan apa pun dan dijamak di kotanya sendiri.52
Juga Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saww shalat jamak antara Dhuhur-
Ashar dan Maghrib-Isya di Madinah tanpa ada satu alasan pun. Kemudian perawi hadits
ini bertanya kepada Ibnu Abbas:
”Mengapa beliau berbuat begitu? Ibnu Abbas menjawab: Agar ummat Islam tidak merasa
sulit.”53 Sekarang banyak pegawai dan sebagainya yang ketika pulang ke rumah sudah
jam 3 sore sedangkan saat itu waktu Ashar telah masuk, kalau dia tidak jamak shalat
Dhuhur Ashar, mungkin shalatnya tercecer, juga orang yang bekerja di bengkel-bengkel
dan berlepotan minyak dls.
Bukhari juga meriwayatkan dalam bab waktu shalat Maghrib.54 Dalam Shahihnya beliau
Hadhor Juz 2 hal. 152)
50 Musnad Ahmad Juz I hal. 221 cet. Maktab Islami Beirut th. 1391 H (1978M) bunyi Haditsnya sama
seperti di atas.
51 Muwatha’ Malik Bab AI-Jam’u baina shalatain hadits No. 328.
52 Diriwayatksn dan lbnu Abbas berkata: “Rasulullah Saww menjamak antara Dhuhur dan Ashar serta
antara Maghrib dan Ishak tanpa ada sebab, baik takut (diserbu lawan secara mendadak) maupun udzur
berpergian atau safar (Muslim dalam Shahihnya Bab Al-Jam’u Bainas shalataini fil Hadhor Juz 2 hal. 150
cet. Darul Ma’rifah Beirut).
53 Diriwayatkan dan Syaqiq, da berkata: “Pada suatu hari lbnu Abbas memberikan ceramah mulai dan
setelah Ashar hingga matahani tenggelam dan bintang-bintang pun bermunculan lalu onang-orang berteriak
mengajak shalat, ia (perawi) berkata: Lalu datanglah seorang dan bani Tamim dengan sikap kasar dan
berteriak shalat-shalat, kemudian lbnu Abbas menjawab: “Apakah anda datang untuk mengajarku sunnah,
mudah-mudahan ibumu mati (la umma lak), ia(Ibnu Abbss)berkata: ‘Rasulullah menjamak antara shalat
Dhuhur dan Asar serta Maghrib dan Isya, Abdullah (perawi) berkata mendengar ucapan Ibnu Abbas itu aku
belum merasa puas, kemudian aku datang pada Abu Hurairah dan kutanyakan kepadanya tentang hal itu
dan ia pun membenarkan ucapan lbnu Abbas. Muslim meriwayatkan hadits ini dari dua jalur. Sunan
Turmudzy Juz I hal. 354 cet. Al-Halabi Mesir 1398 H(1978 M).
54 Shahih Bukhari Kitabul Sholah bab waqtul maghrib juz I hal. 107
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
38
berkata, Amer bin Dinar berkata: Saya dengan Jabir bin Zaid, dan Ibnu Abbas berkata:
Nabi Saww shalat tujuh dan delapan raka ‘at (tujuh, Maghrib-Isya sedang delapan,
Dhuhur-Ashar) di Madinah.
Cuma dalam masalah ini tidak qashar, demikian pula Imamiyah. Saya kira dalil-dalil ini
cukup menunjukkan bahwa Ahlussunnah juga membenarkan shalat jamak. Yang jelas
yang dikatakan tiga waktu itu bukan tiga shalat tetapi lima shalat dalam tiga waktu, dan
kita harus membedakan keduanya itu. Fatwa Imam Khomaini menyatakan, lebih afdhal
masing masing shalat dilakukan pada waktunya. Fatwa tersebut ada dalam kitab beliau
“Tahrir Al. Washilah” (juga ulama-ulama mujtahidin Syi’ah yang lainnya seperti Sayyid
Abul Qasim al-Khu’I memfatwakan hal yang sama).
Kesebelas: Bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah tentang masalah Rajah?.
Mahasiswa: kami melihat nampaknya Ustadz sudah lelah tetapi rasanya kami tidak
bosan-bosan untuk semakin banyak menimba ilmu dari Ustadz. Ada satu lagi pertanyaan
kami yaitu masalah “Raj’ah” bagaimana menurut faham kita Ahlus sunnah?
Ustadz Husein: Ahlus sunnah sama sekali tidak meyakini masalah “Raj’ah”. Raj’ah itu
artinya kembali hidup lagi di dunia ini. Nanti di zaman Imam Mahdi akan melihat hal itu.
Musuh-musuh Ahlul Bait akan dihidupkan dan akan diberi balasan oleh Allah, kemudian
mati lagi semuanya. Kalau ada orang yang menyatakan bahwa Raj ‘ah itu adalah satu
faham reinkarnasi itu tidak betul, sebab reinkarnasi itu artinya roh orang yang menyusup
ke tempat lain seperti binatang atau makhluk lain, sedangkan reinkarnasi itu menurut arti
kamus bermakna penjelmaan kembali makhluk yang telah mati. Sedangkan Raj’ah adalah
orang-orang yang telah mati itu dihidupkan kembali, bukan menjelma. Tidak mustahil
bahwa anggapan Syi’ah itu benar, 55 hanya Syi’ah saja yang menyakini faham ini
sedangkan madzhab lain tidak.
Kedua belas: Apa sebenarnya makna Rafidhah?
Mahasiswa: Mungkin Ustadz tahu apa sebenar makna Rafidhah?
Ustadz Husein: Rafidha dan Rawafidh yang bentuk tunggalnya adalah Rafidhi, sering
disalah gunakan oleh kita Ahlussunnah. Mereka menganggap Syi ‘ah Imamiyah ini
Rafidhah, padahal tidak demikian. Awal mula munculnya Rafidhah adalah orang-orang
yang bersama Imam Zaid bin Ali bin Husein yang bai’at kepada Imam, kemudian
meninggalkan beliau. Anda bisa membaca masalah-masalah ini dalam kamus “Tajul
Arus” jilid 2 atau 3 bab Rafadha. Jadi Rafidza ini tidak ada hubungannya dengan yang
55 Pendapat Syi’ah tentang Raj’ah ini kami lampirkan pada akhir pembahasan ini.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
39
dituduhkan Wahabi kepada Syi ‘ah. Wahabi menuduh bahwa Rafidha adalah orang yang
mengatakan Ali lebih afdhol dart Abu Bakar” dan dia itu adalah kafir.
Yang benar, Rafidha itu adalah bala tentara Imam Zaid yang meninggalkan beliau. Imam
Zaid bin Ali adalah paman Imam Ja’far Shadiq. Seandainya Rafidha ini ditafsirkan orang
yang tidak menerima khilafah Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah yang sah, dia juga
tidak dapat kita katakan kafir. ini menurut semua madzhab kecuali madzhab yang fanatik.
Sebab ada yang mengatakan bahwa sahabat ini ada yang melakukan kekeliruan, orang
tersebut juga tidak kafir. Ada orang bertanya, mungkinkah hal itu terjadi? Bisa saja,
sebab sahabat itu juga melakukan ijtihad, bahkan kita Ahlusssunnah menganggap bahwa
Nabi berijtihad. Sahabat memilih sesuatu selain yang dipilihkan Nabi, itu mungkin saja.
Sebab terbukti bahwa beberapa sahabat seakan-akan mengajari Nabi.
Syi’ah Jmamiyah tidak berpendapat demikian, bahkan menentangnya. Satu misal
menurut Ahlus sunnah: Sayyidina Umar datang kepada Nabi Saww seraya berkata, “Ya
Rasul Allah perintahkan istri-istrimu agar memakai Hijab”, di sini nampaknya Sayyidina
Umar lebih cemburu dalam masalah agama dibanding dengan Nabi.
Setelah beberapa saat kemudian turunlah ayat “Hijab” yang membenarkan Sayyidina
Umar. Begitu riwayat kita Ahlus sunnah. Syi ‘ah menyatakan mustahil ada orang yang
mengajari Nabi seperti itu.
Pendapat itu tidak benar, bertentangan dengan akal, kalau Nabi diajari atau Nabi lupa
dalam shalatnya. Nabi ditegur oleh “Dzulyadain” dalam hadits yang ‘diriwayatkan oleh
Abi Hurairah ketika Nabi lupa dalam shalatnya padahal menurut sejarah bahwa Abu
Hurairah saat itu berada di Bahrain. Ini juga salah satu sebab Abu Hurairah diragukan
sebagai membawa sesuatu yang tidak tepat.
Selain itu ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saww menempelkan
pipinya kepada pipi A’isyah setelah mengajaknya menonton orang-orang Habsyah
bermain tombak.
Kata Syi ‘ah, Nabi tidak mungkin berbuat senista itu, kita saja malu apalagi beliau yang
mengajar akhlak kepada kita dan dipuji akhlaknya oleh Allah.
Banyak hadits-hadits seperti itu dikritik oleh Syi’ah, lantas kita marah. Ada satu riwayat
yang lebih dahsyat lagi, yang diriwayatkan oleh Muslim. Seorang wanita datang kepada
Rasulullah Saww, bernama Sahla dan berkata: Ya Rasulullah, saya punya anak asuh
namanya Salim, tentunya dia keluar masuk rumahku dan saya bukan muhrimnya, kadang
kadang saya sendirian di rumah. Kemudian Nabi menjawab: “Susuilah dia”. Shala
menjawab: Ya Rasulullah orang itu sudah berjanggut, sudah dewasa, bagaimani saya bisa
menyusuinya? Nabi berkata: ‘Kamu susui dia”, hadits ini ada di dalam Shahih Muslim,
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
40
salah satu kitab standar kita Ahlussunnah. Andaikan ini benar ada di dalam kitab itu, hal
ini tidak betul, mustahil Nabi yang mengajarkan malu kepada wanita, tidak boleh
bersalaman, melihat laki-laki dengan syahwat dsb tiba-tiba menyuruh membuka
payudaranya untuk diisap oleh lelaki yang bukan muhrim itu. Kata Syi’ah hal ini
merupakan hal yang mustahil, tetapi Ahlussunnah meriwayatkan ini.
Di sini perbedaan antara keberanian Syi ‘ah mengkritik dengan ketaatan kita kepada apa
yang ada. ini semua bermula dan penutupan pintu Ijtihad yang kita lakukan.
Sesudah 4 .madzhab Ahlus sunnah sepakat untuk membatasi upaya ijtihad dan tidak
boleh ada Mujtahid lagi, kärena sudah cukup empat orang ini dan tidak ada lagi yang
mampu selain mereka itu. Mungkin setelah itu tidak ada lagi orang yang bisa
menggunakan pikirannya untuk Ijtihad karena itu mereka taqlid saja dan sampai sekarang
khususnya di kalangan pondok pesantren.
Jangan diharap kita dapat merubah secara cepat pendirian berbagai masalah seperti di
atas apalagi masalah Taqiah yang kita katakan sebagai perbuatan munafik dan bohong.
Menurut Syi’ah, maksud Taqiah itu adalah menjaga agar diri kita tidak musnah.’ Kalau
agama kita mau dirusak kemudian kita tidak mampu berbuat apa-apa maka kita
dibolehkan taqiah, bukan justru sebaliknya kita mendekal kepada kaum kafir untuk
mendapat satu keuntungan dan mereka, itu namanya bukar taqiah tetapi nifaq atau
munafik.
Mungkin kita keliru menamakan taqiah dengan perbuatan munafik. Jadi kita tidak boleh
menuduh orang atau madzhabnya sekehendak kita tetapi harus kita kaji sendiri atau
berdiskus secara final dengan mereka.
Kalau perlu kita undang beberapa ulamn dari Iran yang bisa diandalkan oleh kedua belah
pihak dan bisa diajukan kepada forum diskusi untuk penjelasan segala masalah. Dalil
merela akan lebih lengkap dan apa yang saya utarakan ini.
Mahasiswa: Terima kasih sekali kepada yang mulia Ustadz Hussein yang telah
memberikan keterangan kepada kami dengan demikian jelas. Walaupun Ustadz sendiri
menyatakan bukan bermadzhab Syi’ah, tetapi kami benar-benar telah merasa puas
dengan jawaban-jawaban Ustadz atas pertanyaan kami. Memang tadi kami dating kemari,
kami menyangka bahawa Ustadz ini bermadzhab Syi’ah. Kerana kami mendengar
perbicaraan orang-orang yang menuduh Ustadz bermadzhab Syi’ah. Sekali lagi kami
ucapkan terima kasih kepada Ustadz, untuk penutup, mungkin Ustadz akan memberikan
nasihat kepada kami atau lainnya?
Ustadz Husein: Saudara penanya, saya ini sudah sering dituduh Syi’ah, hingga akhirnya
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
41
saya mengatakan: “Saya bukan Syi’ah dan bukan Sunni tetapi saya muslim.”
Entah, saya masih diterima sebagai muslim atau sudah dikafirkan, yang jelas saya
katakana bahawa saya ini Muslim. Sering saya katakana bahawa saya ini bukan Syi’ah,
saya Sunni dan lihatlah pesantren saya. Segala yang ada di sana guru-guru pondok saya
hamper 80% ke atas adalah berasal dari alumni pondok-pondok pesantren baik dari
Sidogiri, Langitan atau daerah Jawa Tengah.
Kurikulum kami dan kitab-kitab pelajaran yang kami gunakan dan lain sebagainya cukup
kiranya membuktikan bahawa kami tidak ada hubungannya dengan Syi’ah.
Walaupun demikian dalam kelas-kelas fiqih yakni Aliyah diadakan pelajaran fiqih
perbandingan madzhab-madzhab. Kemudiajn di antara lima madzhab yang ada terdapat
juga di sana fiqih dari madzhab Syi’ah Imamiyah. Jangankan kami, IAIN Sunan Ampel
juga memasukkan madzhab Imamiyah sebagai bahan studinya.
Studi perbandingan madzhab itu tidak ada masalah dan anak-anak di sana kami bebaskan
untuk mempelajarinya, melihat, mendengar dan membacanya sendiri kitab-kitab dan dua
belah pihak. Kalau ada madzhab madzhab selain itu boleh saja mereka membaca, itu
memang kami bebaskan. Dan sini belum boleh orang menuduh kami Syi’ah, tetapi kami
sebenamya lebih tepat dikatakan netral.
Tetapi banyak orang yang tidak menghendaki demikian, ada satu peristiwa yang telah
terjadi di Tegal sehubungan dengan kami. Ketika itu ada dua orang masuk ke sebuah
majelis kami tanpa alam atau salaman, tiba-tiba mereka mengeluarkan tape/recorder
sambil serta merta bertanya, “Ustadz ini Syi’ah atau Sunni?” Saya jawab, saya Sunni,
kemudian mereka tanya macam-macam sehingga terjadi seperti huru hara.
Terus terang saya akui memang mereka itu brutal, tidak berakhlak sedikit pun. Esok
harinya mereka datang lagi sambil membawa beberapa orang termasuk beberapa Kiyai.
Saya akan melayani mereka dengan cara yang balk dengan moderator dan sebagainya,
tetapi ternyata tuan rumah menyatakan keberatan, sebab mereka cenderung membuat
keramaian terus. Kemudian saya tinggalkan mereka, tetapi kaset yang hanya terisi lima
menit itu kemudian dibawa pulang oleh mereka dan diisi sendiri dengan pcmbicaraan
mereka yang bohong dan mendiskreditkan saya, tetapi mereka sama sekali tidak adil,
sebab saya tidak berdaya menjawab karena saya tidak ada di sàna.
Di antara perkataan mereka di dalam kaset tersebut ialah seorang Habib dan Hadramaut
mengatakan “lepas tangan dan madzhab Zaidiyah sampai mereka kembali beriman
kepada Allah yang Esa.”
Mendengar itu saya beristighfar kepada Allah, saya katakan berita-berita semacam m
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
42
harus kita teliti kebenarannya, siapa yang membawa? Kadang-kadang yang membawa
berita itu adalah Yahudi, kita sudah terbiasa menerima berita tanpa seleksi. Kemungkinan
besar Al-Habib Ali Al-Idrus tidak mengatakan Zaidiyah melainkan Yazidiyah.
Saya tahu pasti bahwa madzhab Zaidiyah adalah Madzhab yang paling dekat dengan
Ahlus sunnah dan kalangan Syi ‘ah dan ini sudah populer diketahui.
Kalau anda tanya kepada saya tentang madzhab atau sekte Syi ‘a yang paling dekat
dengan Ahlussunnah maka saya segera menjawab bahwa itu adalah madzhab Zaidiyah.
Mungkinkah Sayyid Ali Al-Idrus seorang Ulama Hadramaut itu mengkafirkan Zaidiyah?
Saya yakin yang dimaksud beliau adalah Yazidiyah. Kalau madzhab Yazidiyah itu,
memang kafir. Madthab Yazidiyah ini adalah salah satu sekte Ahlus sunnah yang
mendewakan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan. Saya mempunyai Kitab standarnya
yang dicetak di Saudi Arabia (pusat Wahabi di dunia). Sehingga tidak mungkin ditambah
atau dikurangi.
Yazid bin Muawiyah ini termasuk orang yang tidak salah menurut Wahabi. Yazidiyah ini
adalah satu kelompok yang mendewakan Yazid dan menjadikan setan sebagai
lambangnya, burung merak sebagai simbolnya. Di dalam kitab itu disebut semuanya, juga
di jelaskan tentang madzhab ini di dalam kitab “Ensikiopedia madzhab-madzhab dan
filsafat filsafat”. Kesempitan ilmu dan minus Akhlak menyebabkan orang-orang berbuat
itu. Mereka mengisi kaset-kasetnya sendiri sehingga saya tidak bisa menolak pendapatpendapat
mereka itu. Alhamdulillah sejak awal tadi saya perhatikan dalam majelis mi,
saudara nampak bersikap sangat simpatik, dan memang saya tidak heran’ karena saudara
dan kalangan mahasiswa, pantas bersikap demikian, sebab mungkin saudara nanti
menyampaikan apa yang telah saya katakan kepada kalangan saudara sendiri, mungkin
saudara masih mengoreksi lagi kata-kata saya, saya persilahkan. Ada satu masalah
penting sebelum saya akhiri, yakni saya akan menambab penjelasan masalah tahrif tadi
yang benar-benar perlu kita fahami.
Kesimpulannya: Perselisihan beberapa riwayat tentang adanya tahrif dari kedua belah
pihak yang saling menuduh tahrif, akhirnya mereka sepakat bahwa riwayat-riwayat kita
Ahlus sunnah mengenai tahrifnya Syi ‘ah dan yang ada pada kita sendiri atau riwayat
Imamiyah tentang tahriif itu, baik yang mengatakan tambahan dan pengurangan dalam
A1-Qur’an, semua riwayat itu dianggap Dha’if (lemah) oleh kedua belah pihak dan
bahkan maudhu’ (buatan) yang sama sekali tidak boleh digunakan. Akhirnya Sunnah dan
Syi’ah kembali kepada Al-Qur’an yang ada pada ummat Islam sejak zaman itu sehingga
sekarang yaitu Qur’an kita ini. Ini semua berdasarkan firman Allah:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah yang akan
menjaganya. (Q.S. 15:9).”
Jadi kita tidak perlu mengambil riwayat riwayat yang Dha‘if atau Maudhu’ itu untuk
saling menuduh, sebab itu tidak benar. Adik-adikku sekalian, saya cukupkan sekian.
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
43
Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan itu bermanfaat bagi saya dan saudara-saudara;
dan menambah ilmu kita. Jika ada keterangan saya yang salah, maka kesalahan itu dari
saya sendiri, dan saya mengucapkan Astaghfirullah. Bila benar maka kebenaran itu dari
Allah SWT. Wassalam.
RAJ ‘AH MENURUT PANDANGAN SYI‘AH IMA MIYAH
Raj’ah ialah: “Kebangkitan kembali sekelompok manusia dan ummah Rasulullah Saww
yang memang tinggal derajat keimanannya dan kedurjanaan, untuk menenima sebagian
balasan mereka di dunia ini.”
Mereka yang beriman akan mendapatkan kejayaan sedang yang fasik akan dihinakan dan
diberi siksaan. Hal ini akan terjadi pada masa bangkitnya Imam Mahdi (Imam dari
keturunan Imam Ali dan Fatimah) sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Nabi dalam
Hadits-hadits yang mutawatir menurut seluruh Ulama Syi‘ah dan sebagian besar menurut
Ulama Ahlus sunnah.
Setelah dibangkitkan mereka akan dimatikan kembali kemudian akan dibangkitkan
kembali pada hari kiamat.
Keyakinan tentang Raj’ah hanya diimani oleh orang-orang Syi’ah saja. Adapun Ahlus
sunnah tidak meyakininya bahkan menganggapnya sebagai suatu i’tiqad (keyakinan)
yang dapat menjadikan tercemarnya kemurnian iman seseorang dan sebagai salah satu
faktor tidak dipakainya nwayat seorang perawi (Apabila ada seorang perawi yang
mempercayai atau meyakini tentang Raj’ah ini, maka riwayatnya tidak dapat dipakat).
Tentunya hat ini disebabkan tentang masalah fahaman mereka, yang menganggap Raj ‘ah
itu sebagal Reinkarnasi. Anggapan ini tidak benar.
Dalil-dalil Tentang Adanya Raj’ah
Dalam masalah pembuktian tentang adanya Raj’ah (faham Raj’ah) ada dua hal yang
penting yang harus dibahas:
1. Apakah kejadian Raj’ah itu adalah suatu yang mustahil atau tidak?
2. Apakah ada ayat atau hadits yang dapal dijadikan sebagai dalil tentang adanya Raj‘ah?
Untuk menjawab pertanyaan pertama adalah sebagai berikut:
Raj’ah tidak berbeda dengan kebangkitan (Al-Ba ‘ats) ummat manusia pada hari kiamat
kecuali dalam hal ruang dan waktu.
Raj’ah terjadi di dunia dan sebelum hari kiamat tiba, sedangkan Al-Ba’ats (Kebangkitat
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
44
sejati) teijadi setelah hari kiamat dan bertempat di alam akhirat.
Adapun dalil-dalil aqli (akal atau rasio) yang pernah diutarakan oleh teolog-teolog Islam
untuk membuktikan kebenaran Al-Ba’ats itu juga dapat digunakan untuk membuktikan
adanya Raj ‘ah secara akal.
Untu menjawab pertanyaan kedua adalah:
Dalam A1-Qur’an banyak ayat-ayat yang menegaskan bahwa pada zaman Nabi-nabi
terdahulu, sering terjadi semacam Raj’ah yaitu bangkit atau hidupnya seorang atau
sekelompok manusia setelah mereka mengalami kematian.
Pertama:
Dinyatakan dalam A1-Qur’an bahwa Nabi Isa As memiliki mu ‘jizat dapat
menghidupkan orang yang sudah mati. Dalam ayat yang berbunyi:
... dan aku menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah ... (Q.S.3: 49).
Kedua:
Seorang dan bangsa Yahudi pernah melalui (lewat) pada suatu desa yang sudah hancur
dan binasa penduduknya, lalu ia bertanya-tanya siapa gerangankah yang akan
membangkitkan semuanya ini? Lalu orang ini dimatikan oleh Allah selama 100 tahun,
kemudian dibangkitkan kembali untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas
segalanya ini. Disebutkan dalam ayat yang berbunyi:
“Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang orang yang melalui suatu negeri yang
(temboknya telah roboh menutupi azapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah
menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh? Maka Allah mematikan orang itu
seratus tahun. Kemudian menghidupkannya kembali Allah bertanya: “Berapakah
lamanya kamu tinggal di sini ?“ la menjawab, saya telah tinggal di sini sehari atau
setengah hari” Allah berfirman: Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun
lamanya lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah dan lihatlah
keledai kamu (yang telah menjadi tulang-belulang); Kami akan menjadikan kamu tandatanda
kekuasan Kami bagi manusia dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu,
bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging.”
Maka talkala setelah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati)
Dia pun berkata:
“Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S.2: 259).
Ketiga:
Al-Qur’an menceritakan ada sekelompok dan bani Israel yang melarikan diri dan kota
mereka kanena takut mati terserang oleh wabak yang tersebar luas, lalu Allah mematikan
mereka semua, kemudian setelah menjadi tulang belulang dan musnah dimakan tanah
mereka dibangkitkan dan dihidupkan sebagaimana semula, untuk menjadi bukti
kebenaran “Al Ba ‘ats. Ibnu Katsir berkomentar:
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
45
“Dihidupkannya mereka itu merupakan bukti yang kuat dan nyata bahwa kebangkitan
jasmani pada hari kiamat itu benar-benar akan terjadi.”
Kisah di atas kami kutip dan Tafsir Jbnu Katsir juz 1 hal 298.
Ayat-ayat yang dipakai oleh Ulama Imamiyah sebagai dalil Raj’ah.
“Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dan tiap-tiap ummat segolongan orangorang
yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibagi-bagi (dalam kelompokkelompok).
“(Q.S.27: 83).
Ayat tersebut di atas menurut pandangan Ulama-ulama Syi‘ah jelas menunjukkan adanya
Raj’ah, sebab Allah berfirman: “Bahwa Ia akan membangkitkan sekelompok manusia
yang mendustakan ayat-ayat-Nya, hal itu dapat dipahami secara jelas dan kata “min”
yang beranti sebagian ( ). Jadi yang dibangkitkan hanya sekelompok ummat saja, tidak
semua ummat manusia, dan ini jelas berbeda dengan kebangkitan total yang terjadi pada
han kiamat yang diberitakan dalam Al Qur’an bahwa tidak ada yang tersisa seorang pun
dalam firman-Nya:
‘Dan akan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dan
mereka. (Q.S.18: 47). Lihat Tafsir Majma’ul Bayan jilid 4 Juz 7, hal. 234-235 diterbitkan
oleh maktabah Ayatullah Al-Udzma Al-Mar’asi -- Qum, Iran -- Tahun 1403H.
Hadits atau riwayat-riwayat Ahlul Bait yang menyatakan hal ini cukup banyak dan kuat
kedudukannya dan itu merupakan hal yang diakui secara luas dalam ajaran Ahlul Bait.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syeikh Muhammad Ridha Al-Mudhaffar dalam
bukunya “Aqo’id Al-Imamiyah” hal. 71. Kemudian beliau menambahkan bahwa faham
Raj’ah bukan merupakan ajaran pokok (Ushul) Madzhab Syi’ah Imamiyah. Hanya saja
kita (orang-orang Syi ‘a meyakini hal itu disebabkan adanya riwayat-riwayat Shahih yang
tak terbantahkan, yang datang dan jalur Ahlul Bait dan itu termasuk perkara Ghaib
(belum terjadi) yang mereka .sampaikan kepada kita. Dan penjelasan di atas akan nampak
jelas kesalahan mereka yang berpendapat bahwa Raj’ah adalah ajaran Yahudi yang
tersisip ke dalam ajaran Syi‘ah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad Amin penulis
buku “Fajrul Islam”.
Tidak semua kesamaan yang ada pada suatu ajaran dengan ajaran lainnya itu berarti
mengambil dari yang lain. Kalau memang demikian, orang dapat mengatakan bahwa
beberapa pokok ajaran Islam itu diambil dan ajaran Nasrani dan Yahudi dikarenakan
adanya kesamaan. Bukankah Al-Qur’an itu untuk membenarkan dan menetapkan
sebagian dan ajaran Nasrani dan Yahudi dalam ayat:
Dan Kami telah turunkan kepada Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya). (Q.S.5: 48).
Kalau memang benar bahwa Raj’ah itu disadap dan ajaran Yahudi, walaupun hal itu tidak
pernah dapat dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah. Inilah keterangan singkat tentang
faham Raj’ah beserta dalil-dalilnya. Mudah-mudahan dapat sedikit memberi penjelasan
bagi mereka yang belum mengerti (memahaminya). Adapun untuk lebih puasnya kami
SUNNAH-SYIAH DALAM DIALOG
46
persilahkan pembaca langsung merujuk tulisan-tulisan, kajian ulama-ulama Syi’ah
tentang hal ini.
Wallahu a’lam.